Sebagai masyarakat kampung tentu dengan penuh kesadaran, prioritas pemenuhan kebutuhan hidup sering menimbulkan rangkaian apatisme pada ruang yang semestinya bisa memberikan banyak nilai.
Karakter semacam ini terjadi akibat konsumsi kebudayaan modern yang berlebihan. Sehingga basis komitmen membangun sebuah Negara dari Desa terbilang nihil dibuktikan.
Secara konseptual, masyarakat kampung sudah dibekali secara natural. Namun pada tataran kontekstual masih ditentangkan pada sub struktur sosial yang sering menimbulkan kontradiktif oleh pengaruh zaman.
Saya teringat waktu kecil, ketika masih bergaul dalam sebuah kelompok remaja yang brutal namun penglihatan kami terhadap nilai bercocok tanam selalu dikedepankan.
Memamfaatkan lahan kosong yang memiliki nilai produksi setelah keseharian kami membuat onar dijalanan. Ini jangan dilihat sebagai suatu yang negatif. Karena pertama, keterbatasan usia dan kedua pola kenakalan yang dibiarkan tetapi ada nilai yang sumbangkan dalam ruang hidup.
Bahka pada hari Minggu berbondong-bondong masyarakat dikampung saya turut serta meramaikan hutan dengan membawa bibit tanaman. Tidak memandangi gender dan sexualitas, keterlibatan secara gotong royong penuh dengan semangat bagaikan mencari jalan menembus surga.
Apa saja yang bisa menghijaukan dan menghasilkan itulah yang kita mamfaatkan. Ketika mengingat masa lalu itu sunguh ingin terulang kembali. Hanya saja jarak telah memisahkan tetapi masih berkawanan dan merawatnya.
Prinsip ini bagi saya telah melampaui kemanusiaan dan kesadaran ekologis itu sendiri. Upaya menguatkan tatanana pangan lokal terus diimbangi ketika harga pasaran mulai naik akibat ekonomi nasional yang lemah.
Catatan ini sengaja dimunculkan untuk kemudian manusia harus melihat bagaimana membentuk pertahanan terbaik dalam kehidupan. Ya, dengan bercocok tanam merupakan eksistensinya.
Apalagi yang menetap dikampung, pengaruh teknologi kiranya dapat dikolaborasikan dengan jati diri masyarakat kampung. Untuk apa? Menginovasi hasil alam yang kita peroleh dari hasil pertanian kita.
Jangan menjadi budak teknologi sehingga hal-hal yang orisinil terabaikan pada rutinitas  yang tidak bernilai. Ini mesti dirubah kecenderungan pola pikir siap terima menjadi pola pikir siap produksi.