Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nelangsanya Kehidupan Suku Anak Dalam, ke Mana Peran LSM dalam Pemberdayaan Mereka?

19 Oktober 2021   10:25 Diperbarui: 19 Oktober 2021   10:29 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tampaknya hanya kalangan yang tak pernah memirsa media massa yang tidak tahu penderitaan Komunitas Adat Terpencil (KAT), termasuk Suku Anak Dalam di Jambi. Nestapa mereka yang tertulis di banyak koran, diberitakan lewat televisi, dan diceritakan dari mulut ke mulut, telah menjadi rahasia umum sekaligus bukti kegagalan negara untuk hadir dan melindungi warganya sebagaimana dicita-citakan para pendiri Republik ini.
 
Sejak dimulainya era eksploitasi hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di awal tahun 1970-an, sejak itu pula Suku Anak Dalam mulai mengalami gangguan massif dalam kehidupan mereka. Apalagi manakala pemerintah menggalakan program transmigrasi, yang meniscayakan pemberian masing-masing dua hektare lahan kepada satu keluarga transmigran. Saat itu pula penggundulan hutan, ruang hidup, dan jaminan kehidupan Suku Anak Dalam langsung terganggu.
 
Situs berita lingkungan hidup Mongabay mencatat, program transmigasi mengkonversi kawasan hidup Suku Anak Dalam jadi petak-petak kebun yang dianggap mampu melipatgandakan ekonomi masyarakat dalam waktu singkat. Sementara lokasi transmigrasi Hitam Ulu dan Air Hitam berada persis di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Batas hutan dan desa sedemikian terbuka.
 
Di sisi lain, jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antarlokasi transmigrasi, ikut memancing munculnya pendatang baru. Pertumbuhan penduduk di lokasi transmigrasi, terutama generasi kedua, telah memberikan tekanan berat terhadap hutan yang tak banyak tersisa.
 
"Catatan Komunitas Konservasi Indonesi (KKI) Warsi, luas konsesi HPH mencapai 1,5 juta hektare. Eksploitasi tanpa kendali terjadi di hutan dataran rendah. HPH juga memfasilitasi pembalakan lanjutan dan perambahan melalui jaringan jalan," tulis Mongabay.
 
Sementara itu, hutan penyangga TNBD yang semula tempat hidup orang-orang Suku Anak Dalam, habis dibagi-bagi untuk 16 perusahaan pengeksploitasi kayu. Sekarang, beberapa bekas HPH di kawasan Suku Anak Dalam telah berubah jadi hutan tanaman industri (HTI), seluas 318.851 hektare, yang sebagian kawasannya mengantongi izin gubernur dan bupati.
 
"Saat ini kondisi orang Rimba (Suku Anak Dalam) sudah miris. Ruang hidup terkepung  perkebunan skala besar dan industri kayu yang rakus lahan," ungkap Direktur Eksekutif KKI Warsi Rudi Syaf kepada Mongabay.
 
Hilangnya hutan menyeret orang-orang Suku Anak Dalam jauh ke luar hutan dan menempati pinggiran jalan lintas Sumatera. Alih-alih mendapat akses lebih mudah, hidup mereka justru jadi lebih rentan. Kehidupan terbuka dengan masyarakat luar membuat pola hidup orang-orang Suku Anak Dalam berubah. 

Mereka tak lagi melangun (tradisi berpindah-pindah tempat atau pergi jauh) dan berburu babi untuk konsumsi. Budaya mereka hilang dan nilai berburu babi berubah menjadi sumber ekonomi yang lebih kompleks.
 
Mongabay menulis, bisnis perdagangan daging babi menjadikan orang-orang Suku Anak Dalam pemburu liar yang dipaksa memenuhi kebutuhan pasar. Pengusaha daging babi memobilisasi mereka untuk berpindah-pindah, mengikuti pergerakan dan jumlah populasi babi liar.
 
Kepada Mongabay, Willi - seorang relawan yang pernah lima tahun mendampingi orang-orang Suku Anak Dalam di kawasan Bukit Duabelas - mengatakan warga Suku Anak Dalam yang berada di jalan lintas Sumatera resisten berkonflik dengan masyarakat umum. Karakter mereka cenderung emosional, berbeda dengan orang-orang Suku Anak Dalam di dalam Bukit Duabelas.

"Sehari-hari memegang kecepek (senapan rakitan), berdarah-darah memburu babi, secara psikis banyak mempengaruhi perilaku mereka," jelas Willi.
 
Apalagi kemudian orang-orang Suku Anak Dalam pun kian terjebak dalam bisnis daging babi.

Hampir setiap hari masyarakat bersentuhan dalam aktivitas dengan orang-orang Suku Anak Dalam yang menyandang kecepek dan berseliweran keluar masuk perkebunan.

Pemandangan yang sejatinya miris karena rawan penyalahgunaan senjata layaknya bangsa Amerika di zaman "wild west" itu masih gampang ditemukan.

Dengan daging babi yang hanya dihargai Rp 5000 per kg, orang-orang Suku Anak Dalam harus kerja keras mencukupi kebutuhan ekonomi dan belitan utang kepada para tengkulak.

"Mereka dikejar-kejar target, kehidupan mereka pun porak-poranda," imbuh Willi.
 
Warga Suku Anak Dalam sampai harus mengemis di jalanan. Terbuang tanpa hutan yang selama ini menjadi ruang hidup, ada warga Suku Anak Dalam yang lantas bergerak menuju kawasan perkotaan. Tanpa kecakapan apa pun, akhirnya mereka menjadi pengemis untuk bertahan hidup.
 
Pada pertengahan bulan Juli 2018 media-media lokal Jambi dipenuhi berita bahwa petugas Dinas Sosial Kota Jambi mengangkut 20 orang Rimba dari empat keluarga yang kedapatan mengemis di jalanan Kota Jambi untuk dibawa bermalam di Dinas Sosial.
 
"Saat ditanya kenapa sampai ke (kota) Jambi. Mereka bilang hutan mereka sudah habis," kata Hasan Asari, yang saat itu menjadi Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Disabilitas dan Napza Jambi.
 
Yang lebih miris, kondisi itu tersebar luas dan mendunia karena masuk ke dalam laporan Human Right Watch (HRW) tahun itu.
 
"Saat ini di Provinsi Jambi, yang terletak di pusat Pulau Sumatra, Suku Anak Dalam hidup dalam kemiskinan yang parah. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa tinggal di tenda terpal, tanpa mata pencaharian," begitu bunyi laporan HRW.

Suku Anak Dalam yang diwawancarai HRW mengatakan bahwa dulu mereka hidup mandiri, tetapi sekarang terpaksa mengemis di jalanan atau "mencuri" buah sawit dari area perkebunan untuk dijual dan menghasilkan uang...," tulis HRW dalam laporannya pada 22 September 2018.

HRW mengatakan melihat banyak perempuan dan anak-anak Suku Anak Dalam menjadi peminta-minta uang atau makanan di sepanjang jalan raya di Sarolangun.
 
 
Ke mana peran LSM pendamping?
 
Melihat kondisi tersebut, wajar bila seringkali muncul pertanyaan, apa saja peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini mendampingi warga Suku Anak Dalam? Apalagi keberadaan LSM-LSM itu pun telah tercatat sejak awal tahun 1990-an.

KKI Warsi, sebuah LSM pendamping Suku Anak Dalam yang tergolong paling besar dan bonafid, telah berdiri sejak tahun 1991.
 
Memang, LSM-LSM tersebut kebanyakan muncul setelah Orde Baru tumbang, karena penggantinya - pemerintahan Presiden BJ Habibie - relatif jauh lebih demokratis. Sejak pemerintahan BJ Habibie pula muncul paradigma partisipasi yang lebih menghargai hak-hak asasi manusia pada pendampingan Komunitas Adat Terpencil.

Itu terlihat dari turunnya Keppres 111 tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil (PKSKAT ).
 
Berdasarkan Keppres 111/1999 tersebut, Komunitas Adat Terpencil (KAT) kemudian diartikan sebagai "...kelompok orang yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang/belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik...." sebagaimana termuat dalam Panduan Umum Pengembangan Kesejahteraan Sosial KAT tahun 2001.  
 
Sejak itulah kemudian muncul tiga strategi yang digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan program pengembangan KAT, yaitu dengan melakukan (1) pendampingan, (2) kemitraan, dan (3) partisipasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun