Mohon tunggu...
Arsyad
Arsyad Mohon Tunggu... Guru - cerpen

Nama Arsyad Dengan satu istri dan dua orang anak,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja Merah Danau Burung

4 Desember 2019   10:39 Diperbarui: 4 Desember 2019   10:49 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Singkat cerita

Makhluk apa itu, ada sesuatu yang aneh di salah satu rumpun pohon nipah besar disisi kiri sungai yang kami lalui, hitam,besar,  berbulu dan dari kedua sisi mulutnya terlihat jelas menjulur taring tajam,mata berwarna merah menyala seakan mengisyaratkan amarah kepada ku dan seisi kelotok.

"Paman makhluk apa itu" teriak ku kepada Paman Mawi yang duduk tepat dibelakang ku sambil menunjuk kesalah satu rumpun pohon nipah tempat dimana makhluk menyeramkan tadi muncul. Akumelihat dengan jelas makhluk ituseiringsemburat merah di ufuk timur sudah mulai menampakkan cahayanya. Hampir saja Bani yang terkejut karena teriakan ku menabrak kelokan sungai yang berada tidak jauh dari rumpun nipah tempat kemunculan makhluk menyeramkan itu.

"Aku juga tidak tahu Sat, mungkin makhluk itu adalah penunggu rumpun nipah yang kita lalui tadi" sahut Paman Mawi yang juga dengan jelas melihat penampakan makhluk itu.Lama kami berdiskusi ditempat itu, tanpa kami sadari cahaya merah matahari pagi mulai menampakkan cahaya cerahnya, sinar yang sedikit menghilangkan rasa perasaan takut di setiap penumpang kelotok, walaupun masih terlihat jelas wajah pucat Ipul, Bani dan Paman Mawi.

"Baiklah kalau itu keputusan nya, aku akan mengantar kalian ke Danau Burung" ujar Bani yang menyetujui hasil diskusi panjang kami, masih ada perasaan tidak nyaman dan takut akan kejadian pagi tadi, tatapan mata merah tajam serta taring tajam makhluk mengerikanmasih sangat jelas membayangiku,tapi dilain sisi,apakah kami harus kembali tanpa hasil? apa kata istriku nanti setibanya dirumah, pasti dia akan menertawakan dan mengejek ku, dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran yang besar terhadap Danau Burung, akhirnya aku memutusukan untuk tetap ikut melanjutkan perjalanan menuju danau burung.

Ku lirik jam tangan, 08.00 tepat. Asing bagi ku tempat yang bernama Danau Burung, tempat yang kata sebagian orang surganya para mancing mania, selain keragaman jenis ikan air tawar, pemandangan hutan galam yang indah menambah eksotisnya tempat itu, ditambah rasabesarkeingin tahuan ku tentang Danau Burung. Adalah kali pertama aku, Paman Mawi dan yang lainmancing diDanau Burung. Jalan menuju ketempat itu pun cuma bermodalkan ceritadari mulut kemulut.Hanya satu tempat yang kami jadikan patokan untuk menuju Danau Burung, tempat di hulu sungaidengan cabang disebelah kiri dimana di muara sungai tersebut terdapat sebuah pohon panggang (pohon beringin) besar.

Ukuran kelotok yang hanya mampu memuat empat orang membuat penat pinggang ku, sulit bergerak tubuh ini, sesak, karena harus berbagi tempat dengan tiga orang lain ditambah perlengkan pancing dan keba, aku juga yakin, penumpang kelotok yang lain pun pasti merasakan sama dengan ku, ini terlihat dari Paman Mawi dan Ipul yang terlihat gelisah.Entah berapa lama perjalanan kami, dari jauh terlihat sebuah pohon panggang besar, menjulang tinggi dengan daunnya yang hijau dan rimbun, berada disisi kiri sungai, inilah tujuan kami, Danau Burung.

Ku lihat banyak sekali kain kuning yang diikatkan dan dikalungkan dibatang, dahan dan ranting pohon panggang tersebut, mulai dari kain kuning yang warnanya sudah mulai memudar, sampai kain kuning baru terlihat terikat di pohon panggang itu. seribu tanya menghantuiku tentang pohon panggang ini, pohon besar, apa maksud pohon, dahan dan rantingnya diikatkan kain kuning, apakah pohon panggang ini pohon keramat atau pohon yang disakralkan oleh masyarakat disekitar sini.

"kita sudah sampai, ayo sat kita cari tempat strike yang bagus" Ipul tiba-tiba mengagetkan ku dari tanya yang masih belum terjawab. Setelah menambatkan kelotok tidak jauh dari pohon panggang itudan sedikit berjalan mengitari Danau Burung, kembali perasaan ku merasa ada yang aneh dari tempat itu. Danau yg ditepinya banyak d tumbuhi pohon galam (tumbuhan rawa khas kalimantan berkulit putih dan empuk dengan pokok pohon sangat keras), rumput liar, tidak terlihat satu burungpun yang ada di tempat itu. Air danau yang jernih dengan tumbuhan ilung (eceng gondok) tumbuh subur didalamnya, tidak ku lihat tanda-tanda ditempat ini banyak terdapat ikan yang kami cari, tidak seberapa jauh daritepi danau tempat ku berdiri, sebuah pohon rambai(sejenis bakau yang tumbuh di air tawar) tumbuh dengan kokohnya.

"Pul, aku makan dulu disini, rasanya cacing dalam perut ku sudah mulai kelaparan" ujar ku kepada Ipul yang sudah melabuhkan kail pancingan nya tanpa suaraSambil memberikan isyarat ibu jari tangan kanan yang diacungkan kepada ku, Ipul terlihat serius menatap tali senar pancingan, berharap segera strike ikan pertamanya.

Indahnya pemandangan ditempat ini, air danau yang jernih dan ilung nya, cuaca yang sejuk, pohon galam yang teduh, serta hijaunya hutan khas kalimantan membuat ku betah duduk berlama dibawah sebuah pohon galam besar nan rimbun ditepi danau ini.Ku buka bekal nasi putih dan lauk telur masak habang masakan istriku, kusuap nasi campur lauk sedikit-demi sedikit kedalam mulut ku, ku kunyah perlahan sambil mata ku memandang Paman Mawi, Ipul dan Bani yang dari tadi melabuh pancingan, walaupun belum kulihat satu ikan  berhasil mereka masukan kedalam keba. fikiranku masihteringat kejadian menyeramkan beberapa waktu yang lalu, tatapan mata merah tajam pertanda amarah dari makhluk rumpun pohon nipah masih menghantuiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun