Mohon tunggu...
Inin Nastain
Inin Nastain Mohon Tunggu... lainnya -

Nikotin, Kafein, http://atsarku.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cium Tangan Itu…Bukan Pake Pipi

18 Februari 2011   14:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:29 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12980377091029747995

Libur mulud tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami berlibur ke rumah Ibu di desa yan penuh dengan ketentraman. Anak-cucu ibu kumpul plek jadi satu di rumah yang pada hari-hari biasa terasa besar karena hanya dihuni oleh Ibu. Aku bersama keluargaku, anak dan istriku datang paling awal, karena memang jarak tempat kami ke rumah ibu paling dekat diabnding saudara-sudara ku yang lain. Setelah dua hari berselang, suadara yang lain pun sampe ke rumah bersejarah ini. Tidak mau kalah dengan aku yang membawa pasukan , saudara ku pun datang berlibur membawa bala tentara yang tidak kalah besar.. "Yah, Teteh Renjani datang Yah, Teteh Renjani datang," kata Euis anakku penuh riang ketika melihat Renjani, keponakanku. Kontan, kami keluar menyambut mereka di depan pintu. Karena sudah terbiasa dari kecil, maka yang pertama kami lakukan menyambut sidaraku, dengan salaman. Dan itu sudah diajarkan sejak aku masih kecil dulu. "Kalau ada tamu, Adek harus salaman," begitu kata Ibu ku waktu aku baru lincah-lincahnya jalan. "Yah... Yah, Teteh Renjani koq salamannya gitu. Tadi Teteh Renjani salaman sama Nenek ngga dicium, tapi ditempelein di pipi," kata Euis anakku, setelah mungkin ngeliat cara salaman sepupunya itu. Sodaraku yang mendengar anakku, Euis protes, dengan membelai kepala Euis penuh kasih sayang, mencoba cari tau, salaman dari anaknya itu. "Emangnya gimana Dek, Teteh salamannya?" saudaraku sambil berjongkok, menyesuikan diri dengan Euis. "Salam khan, mesti cium tangan. Kalau cium tangan khan pake idung Wa. Tapi tadi Teteh salaman sama Nenek, tangan Nenek malah ditempelin ke pipi Teteh Wa. Niyh gini Wa, salaman itu," kata Euis sambil mencium tangan perempuan yang dipanggilnya dengan Uwa itu. Menyaksikan tingkah pola Euis mempraktekkan apa yang diucapkannya, kami tidak bisa menyembunyikan tawa. "Ya khan Yah?" kata Euis sambil melihat ke arahku meminta persetujuan. "Iya, Sayang..." jawab ku. "Tuch, khan bener Wa," kata Euis merasa menang. "Wa, Wa, Teteh mah salamannya kaya yang di sinetron-sinetron itu. Kalau di sinetron, pas salaman sama Mimi (Ibu), sama ayah nya, ngga cium tangan, tapi diusapin ke pipi. Temen-temen Euis juga, kalau pas salaman sama Miminya gitu, wa,"celoteh Euis, dengan semangat menceritakan cara artis-artis di sinetron dan temen-temennya bermain ketika bersalaman dengan orang tuanya. Mendengar Euis yang penuh semangat bertutur, lagi-lagi kami tertawa penuh kekaguman... "Cucu Nenek pinter... Euis, cucu siapa Sayang?" sahut Ibu yang dari tadi hanya senyum-senyum kagum dengan tingkah Euis, anakku. Yang dijawab polos "Cucu nenek, Nek" "Dek, sayang, sini. Uwa punya hadiah buwat Putri Uwa yang pinter ini. Coba liat, Sayang... Adek mau yang mana?" goda sodaraku, sambil mengacungkan dua buah coklat, yang langsung dijawab Euis "Semuanya, Wa," Renjani, yang menjadi obyek obrolan, hanya nampak senyum-senyum malu. "Sini sayang, Nenek punya hadiah buwat Renjani," kata Ibu yang ngga mau ngeliat Renjani merasa bersalah. Setelah protes dari Euis itu, hari-hari libur mulud kami lalui dengan penuh kecerian. Tingkah polah Euis, masih terus menjadi bahan keceriaan kami...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun