Memasuki makam Kyai Ageng Hasan Besari nampak pintu besar. Setiap hari-hari tertentu pintu tersebut ditutup. Di dalamnya terdapat dua kuburan. Pada batu nisannya menempel dua buah papan bertuliskan Jawa Kuno. Kata juru kunci, makam yang satu adalah Kyai Hasan Besari, satunya isterinya.
Pada dinding-dinding makam terbentang kain kafan mengelilinginya. Lantainya berbahan keramik, buatan modern. Pun kuncup makam telah direnovasi dengan batu marmer. Arsiteknya pastilah seorang amatiran sebab bangunannya terkesan biasa-biasa saja. Setiap malam-malam tertentu makam tersebut sering didatangi keturunan Kyai Hasan Besari guna melakukan doa bersama.
Tak jauh dari makam terdapat sebuah masjid. Masjid tersebut pernah digunakan Kyai Ageng menyebarkan ilmunya. Peninggalan Kyai Ageng yang masih terlihat adalah Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pesantren Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri datang menuntut ilmu di pondok ini.
Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya.
Dari tangan Kyai Ageng Hasan Besari telah lahir orang-orang besar, seperti Pakubuwono II atau Sunan Kumbul, Raden Ngabehi Ronggowarsito dan tokoh pergerakan nasional H.O.S Cokroaminoto.
Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" oleh Belanda, Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Siapa menyangka, lewat tangan dingin pria yang gemar mengenakan blangkon ini, lahir tokoh dan pemimpin besar Indonesia. Mereka adalah Muso, Soekarno dan Kartosuwiryo pernah berguru padanya. Salah satu trilogi darinya yang terkenal adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
Pesannya kepada para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator".
Kemudian pada tahun 1923, Bung Hatta bertemu dengan Bung Karno untuk pertama kalinya. Sejak itu, keduanya seolah-olah dipertautkan oleh alam; mereka berjuang bersama, dan puncaknya adalah ketika membacakan teks proklamasi kemerdekaan bersama.