Mohon tunggu...
Abdur Rohman
Abdur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa STF Al-Farabi Kepanjen, Malang dan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Abdur Rohman kelahiran Jakarta, 15 Februari 2001. Saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu sisi bumi, daerah yang dipenuhi dengan kebun tebu, dan ladang toleransi serta berhawa sejuk terdapat gunung dan di saat yang sama ada pantai yang indah di sudut sudut geografis. Napak tilas pendidikan: Di bangku sekolah dasar saya bersekolah di SDN Pabean Udik 1 lulus tepat waktu pada tahun 2013, kemudian dilanjutkan di sekolah favorit setempat SMPN 1 Sindang Indramayu keluar dengan damai pada tahun 2016, lalu melanjutkan di sekolah ketarunaan dengan mengambil jurusan Teknik Alat Berat lulus tanpa hambatan pada tahun 2020. Saat ini sedang menjalani pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Kab. Malang di fakultas Pendidikan Prodi PGSD sekaligus menjadi Mahasantri PP Luhur Baitul Hikmah melalui bimbingan Gurunda Bapak Kyai Ach. Dhofir Zuhry. Demikian, Salam Hayulani fi'li mustafad.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perjalanan Menuju Kebahagiaan

3 Februari 2023   21:05 Diperbarui: 3 Februari 2023   21:08 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kereta Matarmaja jurusan Jakarta-Malang membawa saya ke arah timur pulau Jawa. Tidak hanya seorang diri, saya ditemani oleh harapan dan titipan do'a yang mengantarkan menuju cahaya. Jadwal pemberangkatan saya puku 13:00 WIB, Lebih kurang tiga belas jam waktu tempuh untuk sampai di stasiun, ya melelahkan. Apakah karena tiket yang dibeli kelas bawahan---ekonomi?

Terlintas dalam benak saya, ternyata tidak hanya pendidikan yang terdapat demarkasi antara si miskin dan si kaya, oh tidak hanya itu, pelayanan kesehatan, apa lagi? Oh ya hukum, social, ekonomi. Waduh jangan-jangan semua bidang. Baiklah, itu hanya terlintas, lupakan.

Kelas ekonomi gerbong satu dengan nomor penumpang 10C adalah kursi yang saya tempati. Terdapat dua kursi berhadapan yang hanya bisa ditempati oleh tiga orang. Kursi dihadapan terisi penuh oleh tiga orang wanita, sedang kursi yang saya tempati hanya seorang diri. Kelihatannya mereka adalah mahasiswa dari Jakarta, karena memang masa perkuliahan sudah dimulai sejak tanggal sembilan kemarin bulan ini---Mei. Entah, liburan pada tahun ini sangat terbatas, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi efektif normal di hari yang sama.

Padahal kami para pelajar sangat membutuhkan hari libur yang cukup---panjang, untuk merefleksikan pikiran, dari berbagai tugas yang sejatinya menyebalkan. Semoga pemangku kebijakan khususnya bidang pendidikan membaca tulisan ini.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam tulisannya di buku Pendidikan Jilid I, hari libur adalah salah satu hal urgensi yang perlu bahkan dibutuhkan bagi peserta didik. Dalam satu tahun sekurang-kurangnya sekolah memberikan hari libur 110 hari bagi peserta didik, demikian beliau. Entah kebijakan seperti apa yang saat ini diterapkan oleh pemerintah.

Saat waktu menunjukkan sekitar pukul 18:00 WIB. Kereta perlahan menghentikan lajunya, dan berlabuh di salah satu stasiun kota Semarang.  Terdengar informasi dari pengeras suara, bahwa kereta akan berangkat pukul 18:20. Waktu yang cukup lama untuk menikmati tembakau---rokok. Satu per satu orang keluar dari gerbong, dan didominasi oleh pria, tak terkecuali saya. Bagaimana tidak, hampir lima jam saya di dalam tak ada kesempatan untuk menghisap barang sebatang. Ini kesempatan emas bagi para perokok. Asap-asap membubung ke segala arah, dan menyatu di atas langit stasiun. Obrolan pun kian akrab, yang sebelumnya belum saling mengenal.  

Kembali ke gerbong, saya sudah di temani dua orang lelaki. Mereka berdua bertujuan ke Blitar, untuk mondok disana. Salah satunya berusia hampir sama dengan saya sedang yang lain berusia lima belas tahun. Di sisi kiri saya pun terlihat beberapa santri, yang di identikkan dengan peci hitam dan sarung yang mereka kenakan. Para santri itu berbicara dengan bahasa sunda, entah dari mana rimbanya.

Peluit tanda melajunya kereta berbunyi, melanjutkan perjalanan yang lebih kurang delapan jam lagi. Sesekali membuka gawai lalu membaca pesan singkat dari keluarga. Sesaat meilirik thoot bag yang bercitra wajah Gus Dur, pemberian dari seseorang istimewa, mengambil buku didalamnya, lalu membaca. Beberapa menit kaemudian tersadar, bahwa tiga wanita di muka sudah hilang, ternyata mereka menuntaskan perjalanannya di stasiun Semarang. Tak heran kota itu memang dikenal terdapat banyak mahasiswa dari luar kota.

Sejenak berfikir, untuk apa orang-orang rela untuk pergi jauh dari kampong halamannya? Berkuliah, belajar, bekerja, mengunjungi sanak-keluarga, bahkan untuk bertemu dengan kekasihnya?

Tak jarang, kita harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit, bertaruh dengan nyawa, menghabiskan banyak waktu dan tenaga, meneteskan keringat dan air mata bahkan sebagian yang lain mengeluarkan air telinga, karena meninggalkan orang tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun