Mohon tunggu...
ABDURROFI ABDULLAH AZZAM
ABDURROFI ABDULLAH AZZAM Mohon Tunggu... Ilmuwan - Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, Dan Cinta Indonesia
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia dan mendukung Indonesia bersama Abdurrofi menjadikan indonesia negara superior di dunia. Email Admin : axelmanajemen@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dobrak Stigma Negatif Penyandang Disabilitas Dalam Seksualitas

18 Agustus 2020   04:00 Diperbarui: 18 Agustus 2020   13:28 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (disability.com)

Di Indonesia seksualitas melibatkan penyandang disabilitas maka ada tantangan tertentu, karena pada umumnya masyarakat tidak memandang penyandang disabilitas sebagai seksual. Sebaliknya, banyak yang dipandang sebagai Misconceptions and Marginalization (M & M) sebagai warga negara kelas dua. Masyarakat seringkali melihat disabilitas terlebih dahulu. Hal itu kemudian memperkuat bahwa mereka dapat memiliki pertanyaan, rasa tidak aman, dan kebutuhan yang sama dengan rekan mereka yang bukan penyandang disabilitas.

1. Penyandang Disibilitas Membutuhkan Seks

Pubertas  dan seksualitas sangat penting bagi indra orang muda bahwa mereka dapat mewujudkan sesuatu dalam hidup mereka. Pelajaran bahwa anak perempuan dan laki-laki belajar tentang kesenangan seksual, bahaya, dan kepuasan diri sebagai subjektivitas seksual mereka . Kesenangan yang kita dapatkan dari tubuh kita dan pengalaman hidup dibutuhkan penyandang disabilitas. Subjektivitas ini penting bagi kaum muda untuk memperoleh keterampilan dan kepekaan yang diperlukan untuk menghargai diri sendiri. Subjektivitas seksual selalu terjerat dengan konteks struktural tempat tinggal.

Penyandang disabilitas membutuhkan seks sebagaimana orang-orang normal pada umumnya. Dengan dibukanya kembali perusahaan, termasuk restoran, dan tempat belanja sangat menggoda untuk keluar lagi dan melanjutkan kehidupan "normal".  Kita sudah melepaskan semua frustrasi dengan seksual bangun beberapa bulan terakhir ini selama isolasi sosial. Penyandang disabilitas tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti orang normal namun penyandang disabilitas pergi ke sana dan menjalani hidup seks yang terbaik.

Jadi, bagaimana penyandang disabilitas bisa dengan aman menavigasi seks dalam realitas baru sedang berlangsung?

Minimnya kesadaran dan pemahaman lingkungan sosial, baik keluarga, lembaga  sosial atau lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan kelompok disabilitas dan remaja difabel tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seks remaja mengakibatkan daya dukung, daya kendali dan layanan akses informasi menjadi rendah. Dalam konteks yang melampaui seks genital untuk memasukkan sosialisasi peran gender, pematangan fisik dan citra tubuh, hubungan sosial, dan aspirasi sosial di masa depan. Maka, penyandang disabilitas bisa dengan tidak aman menavigasi seks dalam realitas baru sedang berlangsung.[1]

Berbicara tentang pendidikan seks, baik orang tua maupun pendidik memiliki peran penting dalam mendorong literasi seksual pada anak-anak dan siswa mereka selama pembelajaran di rumah. Orang tua sebagai  peran utama dalam menyampaikan kepada anak-anak mereka nilai-nilai sosial, budaya dan agama mengenai hubungan intim dan seksual, sedangkan profesional kesehatan dan pendidikan memainkan peran utama dalam memberikan informasi tentang seksualitas dan mengembangkan keterampilan sosial terkait. Kedua peran tersebut diperlukan untuk pendidikan penuh dalam realitas baru.

Bagaimana mengakses budaya seksual bagi penyandang disabilitas?

Beberapa keluarga, atau mayoritas dari mereka, yang terpengaruh. Apakah mereka khusus untuk keluarga berbahasa atau apakah mereka populer di antara semua komunitas bahasa, agama, dan budaya ."Budaya seksual" menurut (Tobin Siebers:2012) penyandang disabilitas suatu bentuk kepemilikan pribadi berdasarkan  dengan asumsi bahwa aktivitas seksual menempati bagian tertentu dan terbatas  hidup ditentukan oleh ukuran kemampuan, kendali, atau ketegasan yang dilakukan oleh  individu itu. Orang dengan disabilitas tidak selalu memiliki kehidupan seks seperti ini. Seksualitas penyandang disabilitas tidak bisa mengubah erotik tubuh tetapi juga mengubah temporalitas bercinta. [2]

Di satu sisi, stigma disabilitas dapat mengganggu hubungan seks namun budaya baru seks membantu. Misalnya dengan cara yang sama bahwa temporalitas naratif memiliki awal, tengah, dan akhir, seksualitas normatif membutuhkan titik awal, tengah, dan akhir. Hal ini terutama berlaku untuk seks penetrasi. Penetrasi memiliki fase persiapan, masa menopang, dan sebuah klimaks yang berbeda. Seksualitas bukanlah hak yang harus diperoleh atau milik yang harus dibeli, tetapi keadaan yang dapat diakses oleh semua individu. Bahkan mereka yang terkadang harus berjuang untuk akses itu.

Jadi, rendah akses pekerjaan penyandang disabilitas memengaruhi rendah pernikahan untuk seks?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun