Logam mulia adalah logam yang tahan terhadap korosi, oksidasi, gigitan rayap, kebakaran, dan hujan dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan uang rupiah versi emas.
Indonesia tidak harus melepas ketergantungan terhadap pencetakan uang berdasarkan kertas dan logam non-mulia tapi uang rupiah harus tahan tiap kondisi agar rakyat tidak rugi.
Uang logam rupiah paling banyak menggunakan logam non-mulia yakni bahan nikel dan aluminium bahan berwarna perak metalik dan kuningan berwarna emas tapi bukan emas.
Jumlah uang logam yang dicetak menggunakan bahan nikel relatif lebih sedikit bila dibanding yang menggunakan jenis aluminium. Namun emas paling sedikit karena logam mulia lebih tinggi nilainya dibandingkan logam non-mulia.
Perbedaan logam non-mulia dan logam mulia yang tahan terhadap korosi maupun oksidasi sehingga ketahanan emas terhadap kondisi yang paling korosif dan oksidasi menyebabkan penggunaan emas menyebar luas.
Bank Indonesia ingin meyakinkan bahwa uang rupiah itu berdaulat di Indonesia. Bank Indonesia tidak ingin kepercayaan masyarakat kepada kertas dan logam non-mulia sebagai uang rupiah.
Abdurrofi Abdullah Azzam berpandangan untuk meningkatkan keyakinan masyarakat terhadap uang rupiah sehingga pencetakan uang rupiah itu bisa kembali dengan bahan baku emas sebagai logam mulia yang dicintai sejak peradaban manusia.
Dalam peradaban manusia tercatat oleh Abdurrofi Abdullah Azzam (2021) bahwa uang koin berbahan baku emas sebagai alat tukar pada tahun 560 Sebelum Masehi.
Uang berbahan baku emas telah dimulai pada masa Raja Croesus dari Lydia di wilayah Turki dan uang koin berbahan baku emas juga digunakan sebagai alat tukar dimasa Raja Julius Caesar.
Namun kepercayaan masyarakat turun dengan uang 2000 dan 100.000 karena bahan bakunya begitu sama karena masyarakat sadar nilai berbeda tapi bahan baku kertas mudah terbakar dan digigit rayap.