Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melihat Konstelasi Politik Terkini Kerjasama Empat Arus Partai-Partai Pengusung Pilpres

14 Agustus 2022   16:29 Diperbarui: 14 Agustus 2022   16:33 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada istilah dalam pilpres, partai pengusul yakni yang kandidatnya dari kader partai tersebut sesuai UUD 45 pasal 6A ada klausul pasangan capres-cawapres diusulkan oleh partai politik, partai pengusung hanya bergabung sebagai pengusul pasangan capres dari partai pengusul sebab walaupun ada klausul sebagai gabungan partai tapi yang diusulkan bukan kader sendiri maka diistilahkan sebagai partai pengusung (gabungan), dan terakhir partai pendukung yang menurut UU Pemilu tidak punya suara nasional apalagi kursi di parlemen sebab bukan peserta pemilu sebelumnya maka hanya sebagai pendukung saja bukan pengusul maupun pengusung. 

Hal ini untuk membedakan legal standing dan posisi partai tersebut dalam dinamika kerja-kerja politik pemenangan, untuk membedakan status hak dan wewenangnya di pemilu maupun kemudian dalam membentuk pemerintahan baru.

Dinamika konstelasi politik dalam kerjasama gabungan atau sendiri-sendiri kedepannya tentu masih fleksibel sebelum mendaftarkan pasangan yang diusulkan ke KPU nantinya. Melihat status hak dan wewenang pengusul, pengusung, dan pendukung tentunya setiap parpol akan melakukan manuver politik bagaimana pasangan yang diusulkan adalah kader partai sendiri. 

Sebab dengan menjadi partai pengusul, yakni kader sendiri yang jadi pasangan yang diusulkan, diharapkan partai tersebut lebih solid struktural partai mesin pemenangan Pilpres dan lebih antusias semangat juangnya memenangkan Pemilu 2024, apalagi Pilpres berbarengan dengan Pileg. Artinya, partai mengharapkan dampak cocktail effect untuk perolehan suara nasional di pileg dari pilpres, hal ini tentunya bisa berdampak jika kandidat di Pilpres adalah kader sendiri.

Mengaca dari apa yang bisa dipelajari pada pemilu sebelumnya, kader partai yang jadi patron partai dan/atau ketua partai yang mampu mensolidkan internal partai akan sangat berdampak pada perolehan suara nasional dan kursi di parlemen. Artinya kader partai tersebut yang menjadi sentral kekuatan internal partai punya delapan unsur sumber kekuatan atau tiga kapabilitas yakni secara kepatutan (coercive, reward, legitimate), kepantasan (expert, referent), dan kelayakan (charisma, information, connecting) mampu mengerahkan potensi seluruh unsur internal untuk memaksimalkan mengambil suara hati rakyat hingga perolehan suara dan kursi nasional tinggi dan menjadikan partai tersebut pemenang pemilu. 

Seperti kepemimpinan Megawati di PDIP pada 1999, 2004, 2014, 2019, suara yang signifikan partai Demokrat pada 2009 ketika SBY nyapres periode kedua yang para pengamat sebut anomali politik era reformasi seperti ketika PDI ke PDIP di pemilu 1999, juga Gerindra 2014 dan 2019 dengan Prabowo sebagai sentral Gerindra dan sekaligus kandidat Pilpres walaupun kalah dari Jokowi, pun begitu dengan PKB era Gus Dur 1999 dan 2004.

Cocktail effect dari tokoh sentral partai yang punya sumber kekuatan seperti diatas, apalagi di gadang jadi kandidat pasangan Pilpres sangat terasa efek ekor jasnya. Bahkan, jika sangat signifikan akan menjadi anomali politik seperti PDIP 1999 dan Demokrat 2009. Anomali politik atau dukungan politik yang diluar kebiasaan pada partai dengan sosok sentral internal partai, setelah 2009 tidak pernah terjadi lagi. 

Anomali politik bisa dipahami juga penurunan signifikan suara, seperti Golkar pada 2009 hingga 2019 yang merosot tajam dan stagnan, padahal pasca berakhirnya orde baru masih bisa dikatakan bertahan di pemilu 1999 yakni nomor dua setelah PDIP dan 2004 masih menjadi partai pemenang dan PDIP nomor dua, dengan tokoh sentral kepemimpinan Akbar Tanjung waktu itu. Pemilu 2009 dengan kepemimpinan SBY di Demokrat dan Presiden untuk ke periode keduanya memang bisa dikatakan merubah peta politik nasional, semua partai mengalami penurunan kecuali partai yang berbasis kader yang solid seperti PKS dan PAN yang stabil, selain itu semua mengalami penurunan. Tapi ketika 2014 semua kembali stabil hingga 2019, tidak ada sesuatu yang anomali.

Padahal semua pengamat politik memperkirakan 2019 akan terjadi anomali politik dimana PDIP diperkirakan akan seperti tahun 1999 atau Demokrat pada tahun 2009, sebab Jokowi adalah kader partai PDIP yang diusulkannya (kader yang diusung tapi bukan tokoh sentral partai yang jadi patron). Padahal, setiap pergantian rezim akan terjadi anomali politik untuk mengokohkan atau memperbesar kekuasaan, sebab konsolidasi tidak hanya dari dalam internal akan tetapi juga luar eksternal. Jokowi memang bukan tokoh sentral PDIP, dia bisa dibilang adalah tokoh independen yang besar sebab operasi relawan yang ambil untung padanya untuk membajak tokoh sentral PDIP agar diusung oleh partai tersebut. 

Maka tidak heran suara PDIP bisa dibilang stagnan sejak 2004. Ketika 2014 bisa dikatakan comeback saja, 2019 kalau pun ada kenaikan itu bukan hal yang signifikan atau terjadi anomali politik. Tapi ini pun juga terjadi dengan Gerindra dimana Prabowo menjadi kandidat ke tiga kalinya pada 2019 yang sekaligus juga tokoh sentral partainya, berbeda ketika Prabowo maju pertama kalinya sebagai kandidat presiden di Pilpres 2014 yang memberikan kenaikan suara signifikan dari 4,5% ke 12%. Anomali politik jika penurunan atau kenaikan kurang lebih seratus persen.

Inilah yang menjadi dilema, tentunya semua partai berharap kenaikan setiap Pemilu atau setidaknya stabil walaupun kenaikan atau penurunan kurang lebih dari 20%. Seperti PKS dan PAN yang stabil, atau partai-partai ketika 2014 dan 2019. Belajar dari itu semua, sangat penting konsolidasi internal untuk lolos parliamentary threshold atau perolehan suara tetap stabil. Sebab anomali hanya sekali dan selanjutnya akan kembali lagi ke titik semula, ini seperti pemilu-pemilu masa orde baru atau reformasi dan pasca reformasi tahun 2014. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun