Beli Rumah dengan Gaji Pas-pasan: Realistis, Spekulatif, atau Gila?
"Menurut hukum fisika, semakin besar tekanan pada suatu titik, maka energi yang dihasilkan bisa semakin besar.
Bukan hanya berlaku untuk mesin uap atau ledakan reaktor, tapi juga untuk manusia".
Karena pada dasarnya, hidup kita ini bekerja karena tekanan
Lihat saja mereka yang punya cicilan rumah, tagihan sekolah anak, dan tuntutan hidup yang datang bertubi-tubi --- justru sering kali lebih kreatif, lebih cepat berkembang, dan lebih peka terhadap peluang.
Karena hidup, ketika ditekan, justru memaksa kita menemukan akal.
Ketika Spekulasi Itu Adalah Cara Bertahan
Mari realistis sejenak.
Gaji Rp5 juta, harga rumah Rp500 juta.
Dengan bunga KPR, cicilan bisa menyentuh Rp3-4 jutaan per bulan.
Kalau pakai kalkulator, pasti hasilnya merah: defisit. Tapi itulah hidup.
Kalau semuanya ditentukan kalkulasi sempurna, maka anak-anak muda tak akan berani menikah, tak akan punya anak, tak akan beli rumah, bahkan tak akan berani hidup.
Karena hidup ini memang tidak pasti.
Dan karena tidak pasti itulah, kita tetap berani memulai.
Dari Rumah 34 Juta ke Rumah 20 Kali Lipat
Saya pernah mengalaminya sendiri.
Tahun 1997, saya membeli rumah tipe 45 seharga Rp34 juta. Gaji saya waktu itu Rp750 ribu.
Cicilan rumah? Rp300 ribu.
Nyaris separuh gaji.
Tapi saya jalani. Dan ketika krisis moneter datang, dolar melonjak, harga-harga naik gila-gilaan --- rumah saya ikut naik, bahkan bisa dibilang hingga 20 kali lipat dari harga awalnya.