Tiap menjelang Idul Adha, saya dan istri sudah seperti tim kampanye qurban. Ada jadwal, giliran, bahkan lobi kecil-kecilan soal: tahun ini qurban di mana?Biasanya, kami bergiliran. Tahun ini di kampung istri, tahun depan di kampung saya.Semua demi asas keadilan dan agar qurban benar-benar sampai ke yang butuh. Bukan ke freezer rumah makan.
Saya percaya, qurban yang terbaik adalah yang dibagikan ke perut-perut yang jarang ketemu daging. Di kampung, bukan cuma jadi makanan. Tapi jadi cerita, jadi berkah, jadi pengingat bahwa rejeki itu bisa turun dari langit... lewat seekor sapi.
Kang Yadi, Blantik Kepercayaan Keluarga
Soal beli sapi, saya tak pernah galau. Cukup satu nama: Kang Yadi.
Beliau bukan e-commerce, bukan reseller online, dan tidak pernah iklan di medsos. Tapi di kampung saya, namanya setara Google --- tanya saja soal sapi, dia punya semua jawaban.
Kang Yadi ini blantik --- makelar sapi kampung, profesi mulia yang diwariskan dari mulut ke mulut, bukan dari seminar digital marketing.
Dia tahu sapi mana yang sehat, mana yang stres, mana yang terlalu banyak ngunyah tapi kurang daging.
Dan yang paling penting: dia tahu batas wajar harga, tahu etika dagang, tahu arti kepercayaan.
Beli di Kang Yadi, tak perlu tanda tangan kontrak.
Cukup satu kalimat: "Nggih, tak carikan sing apik."
Marketplace? Ya Bisa, Tapi...
Sekarang memang zamannya digital. Sapi bisa dibeli online, klik-klik, transfer, selesai.
Tapi tetap saja, ada yang hilang dari transaksi itu, interaksi.
Tak ada kopi di beranda, tak ada tawar-menawar santai, tak ada tetangga ikut nyimak sambil nyeletuk:
"Lho sapi ku mbiyen nggak segendut kuwi lho, Mas..."
Sapi qurban bukan barang.
Bukan sekadar berat kiloan.
Ia adalah simbol, ibadah, dan bagian dari relasi sosial.
Dan di sinilah blantik tetap menang dari e-commerce.
DAM Haji dan Akal Sehat
Bicara soal qurban, saya juga punya pandangan soal DAM --- denda pelanggaran haji.
Sekarang lagi rame diperdebatkan: boleh nggak DAM disembelih di Indonesia?