Di sebuah persimpangan jalan kehidupan, anak-anak muda itu berdiri sambil menatap papan petunjuk yang membingungkan. Di kiri, barak militer berdiri tegak, megah, penuh janji kedisiplinan dan semangat juang.
Di kanan, gang sempit penuh coretan dengan sekumpulan pemuda duduk melingkar sambil tertawa getir. Mereka berdiri terpaku, seperti tengah memilih arah hidup yang sama-sama absurd.
"Bro, kalau masuk barak nanti kita jadi apa ya?" tanya seorang pemuda sambil menggigit kuku. "Katanya jadi lebih disiplin, tapi katanya juga bisa jadi terlalu keras, kayak mesin berjalan," jawab temannya sambil mencomot kacang dari plastik kresek.
Di sudut lain, seorang pemuda dengan jaket lusuh dan rokok di tangan menyelutuk, "Masuk barak biar disiplin, katanya. Tapi kalau terlalu disiplin, nanti malah lupa caranya berpikir sendiri. Jadinya ya, manusia robot yang patuh tapi bingung pas disuruh mikir."
Setelah Lulus dari Barak Militer, Realita Tak Seindah Formasi?
Bagi sebagian orang, barak militer adalah kawah candradimuka. Tempat menempa mental baja, disiplin tinggi, dan loyalitas tanpa batas. Tetapi setelah lulus, ke mana arah mereka? Apakah menjadi pribadi yang disiplin dan berintegritas atau justru terbawa kerasnya dunia tanpa tahu bagaimana menghadapi perubahan?
Barak mengajarkan untuk siap menghadapi tantangan fisik, tetapi bagaimana dengan tantangan hidup yang lebih kompleks? Bagi mereka yang memang dididik secara khusus untuk menjadi militer, barak adalah bagian dari proses pembentukan karakter: gaji, masa depan, dan karir sudah ada dalam pikiran mereka.
Namun, bagaimana dengan anak nakal yang dilatih militer tanpa tujuan jelas? Mulut asem karena rokok habis, otak linglung dipaksa baris ikut komando. Pulang-pulang tidak jelas mau apa. Apakah ini tidak kontra produktif hasilnya?
Ketika ekonomi tidak stabil dan dunia kerja penuh ketidakpastian, lulusan barak bisa jadi merasa terasing jika hanya mengandalkan fisik tanpa pemikiran kritis. Apalagi jika pada akhirnya, mereka terjun ke masyarakat dengan mental baja tapi kosong akan kepekaan sosial.
Apakah kita sedang menyiapkan generasi yang tangguh tapi tak tahu cara berpikir, atau generasi kuat yang bingung saat diminta berdialog?
Ironisnya, di negeri yang katanya subur makmur ini, generasi mudanya malah terjebak dalam dua pilihan ekstrem: kuat tapi tak bernyawa, atau bebas tapi tanpa masa depan. Mungkin kita perlu memikirkan ulang, apakah hidup memang selalu harus jadi pilihan antara prajurit tanpa jiwa atau pemuda yang hidup tanpa rencana?