Belakangan ini, isu pemakzulan kembali mengemuka. Kali ini, sorotan tertuju pada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Setelah resmi menduduki kursi Wapres, rupanya tak sedikit angin politik yang masih menghampiri. Di tengah polarisasi politik, muncul desakan dari sejumlah purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran dari jabatannya.
Isu ini muncul di tengah polarisasi antara kelompok purnawirawan TNI yang pro-Prabowo dan anti-Jokowi. Mereka melontarkan delapan tuntutan, salah satunya mendesak Gibran turun dari kursi Wapres. Namun, tuntutan tersebut masih bersifat formalistik dan belum menyentuh substansi sesuai dengan aturan Undang-Undang. Untuk detailnya, bisa cek langsung di Pikiran Rakyat.
Pemakzulan: Sekadar Desakan atau Ada Dasar?
Kalau bicara pemakzulan, nggak bisa sembarangan. Ini bukan soal puas atau nggak puas dengan kebijakan pemimpin, tapi soal ada tidaknya dasar hukum yang kuat. Pemakzulan bukanlah sekadar mekanisme politik untuk melengserkan orang yang tidak disukai. Dalam UUD 1945 Pasal 7A dan 7B, Presiden atau Wakil Presiden bisa dimakzulkan jika melakukan:
Pengkhianatan terhadap negara,
Korupsi,
Penyuapan,
Tindak pidana berat lainnya,
Perbuatan tercela, atau
Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wapres.
Nah, dalam kasus Gibran, sampai sekarang belum ada bukti kuat yang mengarah pada pelanggaran tersebut. Jadi, kalau desakannya lebih didorong oleh kekecewaan atau pandangan politik, rasanya kurang pas kalau langsung minta makzulkan.