Hari-hari ini, media sosial bukan hanya jadi tempat hiburan, tapi telah berubah menjadi arena perang opini yang sengit. Nitizen saling debat, saling sindir, bahkan saling serang hanya untuk membela siapa Gubernur yang dianggap paling "kerja nyata".Â
Ada yang membandingkan berdasarkan data, namun tak sedikit pula yang hanya menilai dari cuplikan video pendek yang viral.
Bahkan muncul tren tukar-tukaran Gubernur, seolah-olah kepala daerah itu barang sewa yang bisa diganti jika performanya tidak cocok di media sosial.Â
Padahal, yang mereka nilai seringkali bukan kerja riil, melainkan ocehan viral sang pejabat itu sendiri---yang makin mahir memoles citra melalui algoritma dan narasi.
Konten demi konten disusun demi satu tujuan: viral. Disusun dengan narasi dramatis, dibumbui dengan musik sedih, dan dikemas dalam format yang bisa mudah lewat di beranda siapa pun.Â
Dan karena algoritma media sosial bekerja secara masif dan acak, tayangan-tayangan itu pun muncul berulang-ulang, menggiring opini publik, seolah-olah itulah satu-satunya kenyataan.
Namun, apakah itu benar-benar realitas atau sekadar gimik? Apakah air mata pejabat di layar ponsel itu benar-benar menurunkan angka kemiskinan? Apakah marah-marah di pasar itu berhasil membuka lapangan kerja? Apakah video menyeka peluh rakyat cukup untuk membangun kualitas hidup masyarakat?
Daripada kita terus bertikai di kolom komentar, saling caci maki hanya karena berbeda referensi viral, mari kita bahas santai. Biar sama-sama sadar, mana yang esensial dan mana yang sekadar sensasional.
Pembangunan bukan drama. Ia adalah kerja senyap yang berdampak besar. Ia tak selalu butuh kamera, tak harus jadi trending. Sayangnya, hari ini pembangunan sering dinilai dari konten viral, bukan dari capaian yang nyata.Â
Bahkan seringkali pejabat yang lebih pandai berakting di depan kamera, lebih dipuja daripada yang bekerja diam-diam tanpa konten.
Angka pengangguran pun kerap terabaikan. Bukan karena tak penting, tapi karena tidak "menjual" secara visual. Tak ada efek dramatis. Tak ada ekspresi yang bisa diklip. Tak bisa dipoles seperti konten bantuan sosial yang sarat emosi.