Dalam budaya Jawa, kita mengenal peribahasa yang cukup menusuk: "kebo nyusu gudel." Artinya, kerbau (induk) justru menyusu pada anaknya (gudel). Sebuah metafora dari kondisi terbalik dalam tatanan sosial, Â yang seharusnya membimbing malah bergantung, yang seharusnya jadi panutan justru kehilangan arah.Â
Ironi ini menjadi pintu masuk untuk memahami fenomena sosial yang makin merajalela, Â wong pinter kalah karo wong bodho, negara kalah karo koruptor.
Tiga ungkapan ini bukan sekadar kelakar di warung kopi atau guyonan khas medsos. Ia menggambarkan kekacauan berpikir dan rusaknya nilai dalam struktur kehidupan kita. Apalagi jika kita melihatnya dari kacamata kelirumonologi, suatu pendekatan kritis terhadap kekeliruan logika publik yang dipopulerkan oleh tokoh budaya dan cendekiawan Indonesia, Jaya Suprana.
Kelirumonologi mengajak kita menertawakan hal-hal yang dianggap lazim padahal keliru. Dalam konteks sosial kita hari ini, banyak kekeliruan yang dilembagakan, diwariskan, bahkan diagungkan.Â
Misalnya, anggapan bahwa pejabat negara yang bergelar doktor pasti lebih pintar dan layak memimpin. Maka bermunculanlah fenomena "gelora doktor" --- gelar akademik dikejar mati-matian, bukan untuk memperdalam ilmu, tapi demi gengsi dan posisi.
Namun, apakah gelar doktor menjamin keberhasilan seorang pemimpin? Tidak juga. Banyak direksi BUMN atau pejabat publik yang bergelar akademik tinggi tetapi gagap dalam mengambil keputusan di lapangan.Â
Mereka mungkin mahir menyusun makalah dan pidato, tetapi tak sanggup membaca peluang ekonomi atau merespons cepat krisis sosial.Â
Sementara itu, di sisi lain, banyak orang yang dianggap "bodoh" --- lulusan SMA atau bahkan tidak tamat sekolah --- justru berhasil membangun usaha besar karena mereka peka terhadap pasar, berani mengambil risiko, dan tidak sibuk membungkus diri dengan gelar.
Inilah realita dunia terbalik yang semakin normal. "Wong pinter kalah karo wong bodho" bukan sekadar soal pendidikan, tapi juga soal keberanian, ketajaman insting, dan relasi sosial.Â
Di masyarakat yang menjunjung birokrasi dan formalitas tinggi, sering kali integritas dan etika dianggap hambatan. Orang yang lurus malah dicibir, orang yang curang tapi lihai malah dipuja.
Lalu, kita tiba pada puncak kekacauan: negara kalah karo koruptor. Ini bukan metafora lagi, tapi kenyataan yang sering kita saksikan. Para koruptor bisa bebas melenggang karena uangnya mampu membeli opini, pengaruh, bahkan hukum.Â