Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebaran, Maksimal di Kampung, Minimalis di Kota, Siapa Lebih Bermakna?

31 Maret 2025   04:41 Diperbarui: 31 Maret 2025   07:27 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inilah Kampungku, sungai, sawah yang hijau menambah kerinduan (Foto-Dok Pribadi)

"Riyoyo lewat omahmu ra?" tanya seorang sahabat sambil terkekeh kepada temannya menjelang Lebaran. Kalimat ini terdengar seperti lelucon ringan, tapi punya makna yang dalam---apakah Lebaran tahun ini disambut dengan dompet tebal atau justru bokek? 

Pertanyaan itu kerap muncul dalam percakapan santai khas orang kampung, mengisyaratkan bahwa Lebaran tak hanya soal ibadah dan tradisi, tapi juga kesiapan ekonomi. 

Meski terdengar bercanda, ada harapan dan semangat di baliknya: bahwa setiap rumah ingin tetap menyambut Hari Raya sebaik mungkin, meskipun dengan kondisi seadanya.

Lebaran di kota besar, kenyataannya berjalan lebih ringkas dan praktis. Setelah menunaikan salat Id di masjid atau lapangan, umat Islam kembali ke rumah. 

Namun, acara selanjutnya bukan keliling rumah tetangga atau kenduri bersama, melainkan mengisi story Instagram, mengirim video ke Reels, dan memotret suasana sholat Id, outfit Lebaran, foto keluarga, hingga menu makanan yang disiapkan. 

Semua dibagikan ke media sosial sebagai bentuk perayaan digital. Tradisi berkunjung ke rumah tetangga hampir hilang. Sebagai Ketua RT di kompleks tempat saya tinggal, saya sangat merasakan suasana hening itu. 

Tidak ada tradisi kunjung-mengunjungi. Saya hanya bersalaman dengan petugas keamanan sambil memberikan arahan untuk siaga menjaga rumah-rumah warga yang sedang mudik.

Masyarakat kota kini cenderung menggantikan silaturahmi nyata dengan broadcast pesan singkat atau unggahan bertema Lebaran. Di waktu senggang, tempat wisata menjadi tujuan utama. 

Ancol, Taman Mini, bahkan pusat perbelanjaan dipenuhi warga yang mencari hiburan, bukan kebersamaan. Lebaran di kota telah bergeser menjadi hari libur biasa, bukan momentum sakral sosial.

Bandingkan dengan suasana di kampung. Setelah salat Id, warga tidak pulang untuk beristirahat. Mereka justru bersiap mengikuti kenduri atau selametan hari raya. 

Setiap keluarga membawa ambeng, yakni nasi dan lauk-pauk yang disusun rapi dalam nampan besar, kemudian dibawa ke masjid atau rumah kepala dusun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun