Ramadhan...Maafkan aku. Tahun ini, aku bersamamu, tapi tidak sepenuhnya hadir. Raga ini berlari ke sana ke mari mengejar dunia, tapi ruh ini tertinggal entah di mana. Aku puasa, iya.Â
Aku tarawih, iya. Tapi ke mana hati ini saat doa-doa dilantunkan? Kenapa kosong begitu dalam ketika kepala ini menyentuh sajadah?
Aku tak bisa membohongi-Mu, ya Rabb... Ramadhan ini aku terlalu sibuk bertahan. Bertahan dari gelombang kebutuhan yang datang tanpa henti. Bertahan dari tekanan hidup yang tak kenal belas kasihan.Â
Dan di tengah semua itu, aku kehilangan satu hal yang paling penting: kedekatan dengan-Mu.
Ramadhan, Aku Tidak Menolakmu---Tapi Dunia Menuntut Lebih
Kata orang, Ramadhan adalah bulan menepi. Tapi bagaimana bisa aku menepi jika setiap sisi hidupku menuntut untuk tetap berdiri?
Aku bukan sekadar individu yang mencari pahala. Aku juga ayah. Aku juga suami. Aku pemilik usaha, dan juga tulang punggung banyak orang. Di belakangku ada wajah-wajah yang menanti kepastian: gaji, THR, santunan, dan janji-janji kecil yang harus ditepati.
Ramadhan bukan membuat pengeluaran berkurang, justru sebaliknya. Kebutuhan dapur membengkak, belanja busana lebaran tak bisa dihindari, dan tangan ini tak mungkin menolak saat sanak saudara meminta uluran.Â
Belum lagi cicilan bank, tagihan leasing, dan kewajiban-kewajiban bisnis yang tidak pernah tahu makna 'bulan penuh berkah'. Mereka tetap menagih, bahkan lebih cepat. Seakan Ramadhan adalah ajang kejar setoran.
Aku ingin duduk tenang di sajadah, menangis karena rindu pada-Mu. Tapi bagaimana aku bisa menangis saat mataku bahkan tak sempat terpejam karena harus berpikir bagaimana menutup semua kebutuhan yang datang bersamaan?
Ramadhan Tahun Ini: Penuh Aktivitas, Tapi Sepi Rasa