Lebaran selalu datang dengan paket lengkap: kebahagiaan, silaturahmi, kenaikan harga, dan ajang adu gengsi. Setiap tahun, skenarionya sama.Â
Harga sembako meroket lebih cepat dari resolusi diet Ramadan yang gagal total. Tarif angkutan melonjak seolah ingin ikut mudik ke bulan, jasa tukang cukur naik, tukang laundry menaikkan harga ekspres, dan tukang pijat mendadak sibuk.
Semua berlomba-lomba merayakan Lebaran dengan harga spesial edisi "Lebaran Edition." Tak ada yang protes, karena sudah mafhum, "Riyoyo rek!" Duduk dongkol pun tetap bayar. Lebaran cuma sekali, dompet menjerit berkali-kali!
Di tengah gelombang kenaikan harga ini, ada fenomena "pejuang gengsi kelas berat" yang pantang kalah dalam perang harga. Mereka adalah para perantau yang paham betul bahwa pulang kampung bukan hanya soal silaturahmi, tapi juga soal penampilan. Tidak cukup hanya baju baru, tidak cukup hanya oleh-oleh mahal. Kalau bisa sekalian mobil baru!
Maka, dimulailah strategi ekonomi tingkat tinggi. Daripada uang buat rental mobil selama 10 hari habis Rp5 jutaan, mendingan buat DP mobil baru. Lagipula, dealer sekarang sudah paham trik, DP bisa direkayasa.Â
Diskon dealer diakali sebagai tambahan DP, cicilan pertama bisa dibayar setelah Lebaran, urusan debt collector? Itu urusan dua bulan lagi! Yang penting, sampai kampung dengan mobil kinclong, bikin tetangga iri, bikin keluarga bangga, dan bikin mantan menyesal!
Suasana kampung langsung heboh. "Wih, sukses nih di rantau!" Padahal suksesnya masih di tahap cicilan pertama. Tapi tak apa, yang penting gengsi aman, harga diri tetap terjaga.
Namun, setelah Lebaran berlalu, kembalilah semua ke realitas. Tabungan habis, saldo rekening sekarat, cicilan mulai berjalan, dan debt collector mulai mencari alamat. Apa daya, sudah terlanjur masuk ke arena adu gengsi tahunan.
Sementara itu, di sudut lain kota, ada Bang Toyib-Bang Toyib lain yang hanya bisa pasrah. Mereka adalah para perantau yang tak bisa pulang, bukan karena lupa jalan pulang, tapi karena kondisi ekonomi tak memungkinkan, nasib pekerjaan yang gak jelas dan ancaman PHK karena pabriknya bangkrut atau pindah cari UMK lebih kecil.
Bukan tak ingin bersilaturahmi, tapi tiket mahal, kebutuhan hidup di rantau makin berat, dan tak ada yang bisa dikorbankan demi mudik kali ini. Akhirnya, mereka memilih diam di kota, bekerja lembur, atau sekadar bertahan hingga semuanya kembali normal.
Lebaran memang momen kebersamaan, tapi bagi banyak orang, Lebaran juga momen refleksi apakah kita benar-benar merayakan Idul Fitri, atau kita justru terjebak dalam siklus ekonomi yang terus berulang?