Olahraga Itu Perlu, Tapi Jangan Sampai Masuk ICU
Puasa bukan alasan untuk rebahan seharian. Tubuh tetap butuh bergerak, tapi kalau sudah seusia saya, dengan berat badan hampir 100 kg, olahraga harus dilakukan dengan strategi.Â
Dulu, waktu masih muda, bisa saja main bola sampai dua jam, lalu lanjut makan bakso tiga porsi tanpa merasa bersalah. Sekarang? Baru jogging sedikit, lutut sudah mengirim surat pengunduran diri.
Di bulan puasa ini, olahraga harus bijak. Kalau terlalu diforsir, malah bisa tumbang sebelum bedug Maghrib berbunyi. Makanya, saya memilih olahraga yang tidak memberatkan tubuh tapi tetap menyegarkan berenang. 'Tidak banyak tenaga yang dikeluarkan, tidak ada beban di lutut, tapi manfaatnya tetap maksimal.
Antara Asam Urat, Sayur, dan Salah Makan
Saya ini termasuk orang yang harus hati-hati dalam makan. Bukan karena takut gemuk---itu sudah terjadi---tapi karena asam urat yang kadang datang tanpa diundang. Uniknya, asam urat saya ini bukan gara-gara makan daging kambing atau seafood mahal, tapi malah gara-gara makan sayur-sayuran tertentu.Â
Bayam, kangkung, dan kawan-kawannya, yang katanya sehat, justru bisa bikin sendi saya protes kalau dimakan sembarangan.
Jadi, kalau ada yang bilang, "Hati-hati, jangan salah makan," saya jawab, "Iya, saya sering salah makan sayur. Bukan salah makan sama siapa." Kalau salah makan sama siapa, urusannya bisa lebih ribet daripada sekadar nyeri sendi!
Karena itu, olahraga saya pun harus menyesuaikan kondisi tubuh. Tidak bisa angkat beban berat, karena beban hidup saja sudah cukup banyak. Tidak bisa lari jauh, karena lutut bisa mogok kerja. Solusinya? Berenang santai.
Dari Jalan Kaki Pagi ke Berenang Ringan
Sebelum puasa, saya rutin jalan kaki pagi keliling kompleks. Walaupun lebih sering berhenti buat ngobrol dengan tetangga daripada jalan kakinya, yang penting tetap ada gerakan. Tapi saat puasa, jalan kaki pagi menjadi tantangan besar. Baru setengah putaran, badan sudah terasa seperti unta kehausan di gurun.