Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cerdas di Tengah Keragaman

27 Oktober 2021   06:15 Diperbarui: 27 Oktober 2021   06:17 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku

Filosof kenamaan Aristoteles pernah mengingatkan, bahwa manusia itu makhluk social, makhluk berpolitik, yang satu sama saling tergantung dalam pemenuhan kepentingan. Tidak ada seorang pun yang bisa menjalani kehidupan dengan kemampuannya sendiri, pasalnya eksistensinya ditentukan oleh lainnya.

Dalam ranah itu, logis sebenarnya jika terjadi keragaman sosok manusia. Dengan keragamannya justru bisa saling mendukung dan memberi jawaban terhadaap problem beragam yang dihadapi sesamanya. 

Kondisi pluralitas ini sejatinya sudah jadi bagian penting dari obyek pencerdasan pada manusia, bahwa dengan keragamanlah urusan yang beragam dalam kehidupannya bisa dijawab.

Masalahnya yang kita temukan di masyarakat, kenapa pluralisme gampang dijadikan sasaran tembak sebagai akar penyebab terjadinya dan meledaknya kekerasan? Yang bersalah pluralismenya ataukah elemen sosial, agama, ekonomi, dan lainnya yang wajib bertanggungjawab?

Dalam realitas sejarah pergulatan hidup manusia, jelas sekali bahwa pluralisme tidak pernah bersalah. Manusia ini diciptakan oleh tuhan secara bermacam-macam, bukan homogen (tidak pernah seragam). Perbedaan ini menceminkan sunnatullah, yang menuntut setiap orang bisa berperan dengan cerdas di tengah keragaman.

Banyak model atau pola yang ditunjukkan manusia dalam menyikapi pluralitas. Ada yang arif dan cerdas menyikapi nya, namun ada pula yang tidak menerima realitas pluralisme. 

Bagi yang tidak menerima ini, baik karena alasan ekonomi, etnis, keyakinan dan agama yang dipeluknya maupun alasan subyektifitasnya sendiri, dicoba dilampiaskan dengan gerakan radikalisme atau mengusik sesamanya dengan tangan-tangan jahat dan kejinya.

Islam mengajarkan doktrin universalitas dan humanitas pada setiap manusia, bahwa aktifitas yang dijalani seseorang terlarang menimbulkan kesulitan atau petaka bagi sesamanya. "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada manusia lain", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengingatkan manusia tentang makna berperan sosial yang bersifat memberikan manfaat, dan bukan kerugian pada sesamanya.

Dalam sabda Nabi itu mengajarkan tentang makna hidup bagi manusia yang ditentukan oleh kadar peran yang dimainkannya di masyarakat pluralistik. Ketika banyak peran positip yang diperbuatnya, maka peran ini identik dengan memberi dan menciptakan keberdayaan, keharmonisan, dan keberlanjutan hidup orang-orang yang sedang kesulitan.

Sabda itu juga mengajarkan tentang standar tentang peran, maknanya  peran demikian itu dapat bermanfaat untuk membangun dan menguatkan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) dan persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah) antara golongan mapan dengan miskin, atau elemen sosial yang berbeda-beda. 

Perbedaan atau keragama tidak dijadikan alasan menciptakan disparitas dan disharmonisasi, tetapi dijadikan kesempatan untuk saling mendukung, mengayomi, dan melindungi. Masing-masing elemen sosial terdorong menjadi pelaku yang berorientasi memberi manfaat, dan bukan menabur perilaku yang merugikan sesamanya.

Peran seperti itu seharusnya disosialisasikan dan budayakan di tengah masyarakat, apalagi saat kondisi masyarakat gampang sekali diusik oleh problem kekerasan internal dan  lintas agama.  

Problem kekerasan demikian tidak akan sampai terjadi dan marak, manakala setiap pemeluk agama berlomba memperlakukan orang lain yang berbeda dengan dirinya sebagai saudara. Perlakuan ini terukur dari seberapa besar dan sering relasi kemanusiaan yang dibangunnya.

Katakanlah dalam suatu bencana alam, selain harta melayang dan sumber pendapatan menghilang, juga hadirnya berbagai bentuk problem baru yang sangat serius, seperti luka-luka infeksi yang mengancam dan membahayakan kesehatan dan nyawa  

Beban  komplikatif masyarakat korban bencana alam ini akan bisa diperingan atau dientas oleh manusia-manusia yang di dalam hidupnya mau belajar dari filosofi kebersamaan atau minimal pendapatnya filosof yang banyak mengajarkan makna kebersamaan tentang status  manusia sebagai makluk sosial.

Dalam gagasan para "guru filsafat"  itu disebutkan, bahwa manusia itu membutuhkan manusia lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak bisa menempuh jalan individualis, karena manusia tidak akan bermakna tanpa dukungan manusia lain.

Kemanfaatan yang diberikan oleh seseorang pada orang lain adalah kenyataan tentang fungsionalisasi (pemanfaatan) dirinya sebagai insan pluralis. 

Kalau pohon pisang saja misalnya berani mempertaruhkan hidup dan matinya ini demi kemaslahatan manusia, seharusnya manusia pun berani menunjukkan peran-peran sucinya untuk mengentas problem yang sedang menghimpit sesamanya atau makhluk Tuhan lainnya, tanpa mengalkulasi kondisi pluralisme, dan bukannya menghadirkan beban dan petaka sosial.

Perbedaan yang diberikan oleh Tuhan sejatinya sebagai tuntutan moral pada manusia supaya mengakui kalau eksistensi dirinya di tengah masyarakat akan teralinasikan, manakala tidak memberi yang terbaik pada sesamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun