Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ku Tetap Mencintaimu

2 Oktober 2021   06:19 Diperbarui: 2 Oktober 2021   06:41 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Avarus animus nullo satiatur lucro", demikian kata mutiara  yang bermakna pikiran rakus tidak puas dengan keuntungan berapa pun. Kata mutiara ini sejatinya sebagai ajakan pada setiap orang untuk tidak mengikuti atau menjadikan kerakusan (keserakahan) sebagai "imam" dalam kehidupannya.

Itu juga menunjukkan, bahwa sepanjang manusia tidak memiliki etika (akhlak) yang baik dalam menjalani kehidupannya, maka jangan pernah mengimpikan negara mencapai atmosfir benderang atau pencerahannya. Sebaliknya yang akan banyak dihadapi adalah atmosfir "mendung yang masih terus menggantung" (menyelimuti negeri).

Kerakusan adalah wujud sikap atau perilaku seseorang atau sekelompok orang yang tidak merasa puas, cukup, dan bersuukur atas apa yang sudah diterimana. Mereka ini layak digolongan sebagai subyek yang menginginkan (berambisi) dan melakukan "aksi-aksi" yang bisa mendatangkan banyak keuntungan atau ragam keistimewaan eksklusif dengan segala macam cara, termasuk menggusur atau melindas etika mulia.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW didatangi seorang laki-laki.  Sambil berdiri di muka beliau, lelaki itu bertanya, "Ya, Rasulullah, apakah agama itu?. Beliau menjawab, "agama ialah akhlak yang baik". Laki-laki itu bergerak menghadap beliau dari arah kanan dan bertanya, Ya Rasulullah, apa yang disebut agama itu?. Beliau menjawab, "agama itu adalah akhlak yang baik". Rupanya masih belum puas, laki-laki itu bertanya lagi dari sebelah kiri dengan pertanyaan yang sama, "apakah agama itu ya Rasulullah?, beliau menjawab; "agama ialah akhlak yang baik".  Kemudian laki-laki itu beralih ke belakang beliau, dan untuk kesekian kalinya bertanya lagi, Ya Rasulullah, apakah agama itu?. Beliau lantas menoleh kepada laki-laki itu, dan bersabda "Apakah engkau belum mengerti? "agama ialah engkau tidak boleh marah".

Dialog beliau itu menunjukkan tentang relasi khusus dan istimewa agama dan etika. Manusia, pejabat level apapun yang mengaku beragama haruslah berakhlak yang baik. Etika adiluhung ini merupakan kunci utama yang menentukan apakah dirinya masih layak menyandang prediket beragama ataukah jadi  subyek yang menghadirkan "mendung menggantung" yang menusantara atau mendunia.

Jawaban beliau (Nabi) berkali-kali tentang "agama ialah akhlak yang baik" menunjukkan bahwa beragama tanpa menjaga dan membumikan etika yang baik sama dengan tidak beragama. Tak ada gunanya beragama jika pribadi manusia terpisah dari terapan budi pekerti. Inilah yang mengisyaratkan, bahwa dalam keadaan apapun tema "ku tetap mencintaimu" (etika) wajib dikumandangkan.

Etika mulia merupakan energi yang memondasi, menggerakkan dan mengawasi dinamika kehidupan manusia selaku individua, komponen sosial, elemen politik, pilar ekonomi, penjaga gawang penegakan hukum, perekat kultur dan interaksi antar warga bangsa.

Etika itu menyentuh realitas empirik yang mengawal dan menunjukkan jalan putih yang seharusnya dilalui manusia,  piranti kebenaran yang wajib dijaga, garis loyalitas kemanusiaan, poros komitmen kebangsaan dan persaudaraan dalam perbedaan serta berbeda dalam persaudaraan yang harus diwujudkan.

Manusia dididik oleh etika mulia untuk jadi pejuang dan pembela kebenaran, tak membiarkan keadilan terpasung atau dikebiri oleh kejahatan. Manusia dididiknya agar jadi pelaku sejarah yang tak mempanglimakan (baca: mensuperioritaskan) kepentingan diri, kelompok, arogansi etnis dan target primordialisme.

Privilitasnya lagi, etika mulia itu dapat mengawal praktik pemimpin bangsa dalam menjalankan roda pemerintahan agar tetap menyala dan membara komitmen kerakyatannya. Gerak pemimpin ini diharapkan tetap berada dalam "wilayah" jaring normatif yang memberdayakan  peran sakralitasnya  (kesucian amanat).

Penyejarahan kesucian amanat itu merupakan kunci utama yang menentukan terkonstruksinya bangsa di negeri ini menjadi Indonesia  berkeadaban dan berkemakmuran, suatu bangsa yang gigih memperjuangkan dan mencintai ajaran kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesamaan derajat, kesatuan ant komponen rakyat, kewibawaan, kesejahteraan,   dan kebersihan praktik pemerintahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun