Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Memertahankan Kultur Bisu

24 September 2021   06:59 Diperbarui: 24 September 2021   07:06 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh  Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku

''Dunia akan semakin berbahaya dan menakutkan bukan karena pelaku kejahatan, melainkan karena kita membiarkan kejahatan berlangsung'' (Albert Enstein). Masyarakat, rakyat, bangsa, dan negara, adalah cermin bangunan dunia, yang potretnya bisa menjadi buram akibat kejahatan yang menjamur dan tumbuh subur. 

Kimiawan hebat tersebut ternyata sangat peka terhadap berbagai potensi penyakit sosial yang bisa muncul dan subur di tengah masyarakat. Ia tidak hanya merumuskan teori-teori atom, tetapi ia juga bisa merumuskan tentang molekul-molekul kejahatan yang bisa tumbuh pesat menjadi bencana dalam kehidupan umat manusia. Dan menurutnya, salah satu penyakit yang membahayakan justru berasal dari sikap individualis kita, yang kurang peka dan respek atau acuh tak acuh terhadap kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.

Kita yang terseret dalam budaya membiarkan atau kultur bisu (silent culture) terhadap kejahatan yang terjadi di sekitar kita, hal ini sama artinya dengan memberikan kelonggaran atau menciptakan kerawanan atas suburnya kejahatan. Kejahatan seperti diberi angin  segar untuk memposisikan diri, menjalankan aksi vulgar dan radikalnya, serta mengatur strategi penyuksesan kriminalitas yang lebih canggih dan sadistik.

Di negeri ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya belakangan ini potrertnya belum menyenangkan atau membanggakan, Masih menakutkan,  dan diliputi oleh berbagai kerawanan. Seperti dilansir sejumlah media daerah dan nasional, berbagai bentuk kejahatan menghiasi atau tepatnya "menodai" berbagai daerah di Jatim, terutama kawasan kota Surabaya. Kejahatan ibarat penyakit yang sudah demikian melekat, akrab, dan benar-benar dekat dengan kehidupan keseharian kita.

Di beberapa kota itu barangkali layak dikatakan menjelma  menjadi ibu kotanya Amerika Serikat yang dikategorikan sebagai "kota kejahatan" (city of crime), karena bukan hanya setiap hari kita dikejutkan oleh tindak kriminalitas yang mencuat, tetapi juga oleh beragam dan sadisnya tangan-tangan kejahatan. Ada beberapa TKW disekap dan lantas dibunuh satu persatu, ada pula satu keluarga dibantai semua, dan bahkan anak kecil yang tidak berdosa dan belum paham akalau yang dilakukan pelaku kriminalitas itu adalah kriminalitas juga ikut dijagalnya.

Dengan terbentuknya kejahatan sebagai panglima itu, rasanya kita layak berasumsi, bahwa harga hak hidup, hak ketenangan, hak kedamaian, dan hak keselamatan sekarang ini  sangatlah murah, karena terbukti demikian gampangnya seseorang atau kelompok orang menggunakan tangan-tangan jahatnya untuk berbuat jahat. Apa memang sudah tiada nurani yang bening  yang mampu mengerim atau mengendalikan diri sehingga tidak sampai terjerumus dalam perilaku kriminalitas? Apa memang dalam diri kita ini tidak ada lagi kefitrian, simpati, empati, dan kearifan  yang ditumbuh-suburkan menjadi kekuatan besar di masyarakat?

Meskipun ada target memenuhi berbagai bentuk kebutuhan hidup yang terbilang mendesak, umpamanya kebutuhan ekonomi, tetaplah tidak benar jika hal ini dicoba dipenuhinya dengan cara-cara yang menghancurkan hak-hak mendasar sesamanya. Kejahatan, apapun dalih yang digunakan, tetaplah kejahatan. Semakin kejahatan dipanglimakan dalam diri seseorang atau kelompok orang, maka akan semakin banyaklah yang menjadi korbannya. Alangkah patut disesalkannya jika bangsa Timur ini sampai menyerah dalam perbuatan keji ini?

Ajaran Islam sudah menggariskan, "berlombalah kalian semua dalam (memperbanyak) perbuatan baik" (Al-Maidah, 48 dan lihat di Al-Baqarah: 148)), demikian Firman Allah, yang sebenarnya memerintahkan kepada kita untuk berlomba melakukan dan menyemaikan kebaikan, kedamaian, dan ketenangan di tengah masyarakat, dan bukannya melakukan atau memproduk tindak kejahatan.

Kita pun wajib sepakat, bahwa saat ini merupakan momentum  yang sangat tepat untuk melakukan, memperkaya, atau memproduk perbuatan-perbuatan bajik, dan bahkan idealnya diadakan perlombaan atau kompetisi yang digelar secara terbuka di tengah masyarakat supaya setiap anggota masyarakat mau dan antusias mengikuti perlombaan guna memenangkan prediket sebagai pelaku kebajikan atau penyubur keadaban bermasyarakat dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun