Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjaga Sakralitas Edukasi

17 September 2021   07:29 Diperbarui: 17 September 2021   10:15 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Foto oleh Agung Pandit Wiguna dari Pexels

Kalau tokoh pendidikan (paedagog) kenamaan Paulo Freire pernah melontarkan gagasan "pendidikan untuk pembebasan" (education for liberty), maka barangkali di Jatim, slogan tersebut perlu dibalik, bukan pendidikan untuk pembebasan, tetapi pembebasan pendidikan. Mengapa demikian?

Pendidikan di Indeonesia memang harus benar-benar "dibebaskan" dari  penjajahan atau modus "tiranisme" atau banyaknya sekat, pasalnya penyelenggaraan pendidikannya belum menunjukkan jati dirinya sebagai pendidikan yang membebaskan harkat kemanusiaan. 

Penyelenggaraanya lebih kental memenangkan atau mengedepankan pendidikan yang bercorak diskriminatif, memaksakan, non-misoginisme (didasari sikap kebencian dan dendam), penindasan, dan keserakahan.

Corak tersebut merupakan "hak miliknya" kaum penjajah, dan bukan selayaknya dipegang teguh oleh masyarakat yang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa bebas.

Watak-watak menjajah sepatutnya sudah harus jauh-jauh hari lenyap dari permukaan bumi Indonesia, yang masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat pejuang atau komunitas anti penjajahan, meski di sisi lain masih melekat wajah elemen masyarakat bergaya tiran..

Kalau menggunakan makna kesetian atau sakralitas edukasi, idealnya setiap elemen masyarakat edukatif, khususnya subyek didiknya, yang diantaranya pengelola pendidikan, murid, dan masyarakat, menjadikan pembebasan pribadi seperti hak berekspresi, berionovasi, dan menjatuhkan opsi, sebagai hak privilitas yang tidak diganggu siapapun, dan bahkan seharusnya dikembangkannya secara terus menerus.

Pendidikan yang berelasi dengan komitmen menumbuhkembangkan anak didik melalui transformasi nilai di sekolah atau di luar sekolah sejatinya bermakna pembebasan kepribadian dalam menentukan pilihan, termasuk melakukan "oposisi" atas kebijakan di sekolah yang dinilai bercorak represip dan membangun sikap kritis-konstruktif, di samping penguasaan ketrampilan.

Dalam pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 (Sistem Pendidikan Nasional), disebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Dalam ketentuan tersebut menyebut kata "mengembangkan", yang sejatinya merupakan tahapan lanjutan setelah pemerdekaan. Mengembangkan kepribadian anak hanya bisa dilakukan setelah melalui tahapan "membebaskan" kepribadian, baik akibat kebodohan, ketertinggalan informasi, ketidakberdayaan menyikapi kebijakan atau regulasi sekolah yang menindas, maupun pola-pola lain yang jauh dari mencerdaskan kepribadian anak didik.

Sayangnya, anak-anak menjadi kesulitan mengembangkan diri akibat yang ditemui dalam kesehariannya adalah penyelenggaran birokrat atau pengelola pendidikan yang tidak membebaskannya dalam ranah demokratisasi dan humanisasi.

Kalangan penyelenggara ini gampang sekali memproduk suatu kebijakan atau tatanan yang  mengikat, yang membuat anak didik terdesak dalam kesulitan menentukan aspirasinya.

Mereka itu masih demikian sering dipojokan atau dibuat tidak berdaya dalam ranah sebagai "ongkos" yang wajib membayar lunas (patuh) terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat birokratis, yang otomatis kurang memedulikan aspek yang fundamental yang berkaitan dengan proses pembelajaran humanitas dan progresif.

Sekolah misalnya masih serba diberi rambu-rambu oleh pemerintah (pusat maupun daerah) dalam bentuk dilarang melakukan suatu aktifitas yang cenderung merugikan anak didik, namun sekolah tidak diberikan kebijakan yang bersifat progresip dan humanistik. 

Yang selama ini jadi virus, atau setidaknya sebelum mencuatnya gagasan "Merdeka Belajar", kondisi sekolah atau dunia Pendidikan butuha banyak diberi "obat".

Faktanya sekolah masih sering sebatas dijadikan sebagai "mulut" dari bermacam-macam regulasi yang dikeluarkan pemerintah, padahal model demikian lebih bercorak represip, yang notabene potensial "membunuh" kreatifitas dan kemandirian sekolah. Mau melangkah takut terkena semprit, sementara berdiam diri saja, sama dengan membenarkan pembodohan atau penjajahan.

Ketika sekolah berada dalam ranah ketidakberdayaan akibat kebijakan pemerintah yang sulit "dibahasakan" secara empirik itu, maka sekolah ini layak dikategorikan terpenjara atau kesulitan menemukan iklim kemerdekaannya. 

Sekolah atau dunia Pendidikan yang belum liberatif yang humanitas ini rasanya berat sekali untuk dipercaya akan kapabel dalam menumbuhkembangkan atau memerdekakan anak didiknya.

Bagaimana mungkin sekolah yang sedang jadi korban reduksi nilai demokratisasi dan humanisasinya (jika masih dibiarkan) bisa membentuk dirinya jadi pemerdeka?

Sekolah yang bisa membebaskan dirinyalah yang akan mampu membentuk anak-anak pejuang yang gemar membebaskan diri dan sesamanya.

***

Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun