Mereka itu masih demikian sering dipojokan atau dibuat tidak berdaya dalam ranah sebagai "ongkos" yang wajib membayar lunas (patuh) terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat birokratis, yang otomatis kurang memedulikan aspek yang fundamental yang berkaitan dengan proses pembelajaran humanitas dan progresif.
Sekolah misalnya masih serba diberi rambu-rambu oleh pemerintah (pusat maupun daerah) dalam bentuk dilarang melakukan suatu aktifitas yang cenderung merugikan anak didik, namun sekolah tidak diberikan kebijakan yang bersifat progresip dan humanistik.Â
Yang selama ini jadi virus, atau setidaknya sebelum mencuatnya gagasan "Merdeka Belajar", kondisi sekolah atau dunia Pendidikan butuha banyak diberi "obat".
Faktanya sekolah masih sering sebatas dijadikan sebagai "mulut" dari bermacam-macam regulasi yang dikeluarkan pemerintah, padahal model demikian lebih bercorak represip, yang notabene potensial "membunuh" kreatifitas dan kemandirian sekolah. Mau melangkah takut terkena semprit, sementara berdiam diri saja, sama dengan membenarkan pembodohan atau penjajahan.
Ketika sekolah berada dalam ranah ketidakberdayaan akibat kebijakan pemerintah yang sulit "dibahasakan" secara empirik itu, maka sekolah ini layak dikategorikan terpenjara atau kesulitan menemukan iklim kemerdekaannya.Â
Sekolah atau dunia Pendidikan yang belum liberatif yang humanitas ini rasanya berat sekali untuk dipercaya akan kapabel dalam menumbuhkembangkan atau memerdekakan anak didiknya.
Bagaimana mungkin sekolah yang sedang jadi korban reduksi nilai demokratisasi dan humanisasinya (jika masih dibiarkan) bisa membentuk dirinya jadi pemerdeka?
Sekolah yang bisa membebaskan dirinyalah yang akan mampu membentuk anak-anak pejuang yang gemar membebaskan diri dan sesamanya.
***
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku