Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kita "Terpidana" Ekologis

15 April 2021   07:33 Diperbarui: 15 April 2021   07:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Foto Penulis

Oleh abdul wahid

Saat ini, kita memang sepantasnya "menerpidanakan" diri sendiri, seperti pertanyaan masihkah kita bersahabat dengan alam? benarkah kita masih menjadikan alam sebagai kekayaan besar bangsa ini? atau masihkah kita memperlakukan alam secara beradab? atau masih  hidupkah kebeningan hati atau rasa kemanusiaan dalam diri kita terhadap alam?

Gugatan tersebut layak menjadi bahan refleksi kita, bahwa  dalam bangunan kehidupan ini ada problem berat yang sedang menghimpit, ada peristiwa yang patut dijadikan dzikir atas segala perbuatan yang sudah meninggalkan kompilasi baksil di masyarakat, dan ada krisis yang membuat bangsa ini berjalan sempoyongan. Dan salah satu problem seriusnya  ini adalah dishamonisasi hubungan manusia dengan alam.

Kalau bangunan hubungan manusia dengan alam ini sudah berjalan harmonis, tentulah manusia akan bisa hidup berdampingan dengan alam  ini secara nikmat, nyaman, dan bestari. Jika manusia ini masih menempatkan alam sebagai sahabatnya, tentulah alam ini tidak membombardir kehidupan manusia secara terus menerus. Alam  semestinya memberi  kedamaian dan bukannya berbagai bentuk penyakit, wabah, atau musibah, bilamana alam ini senyatanya masih berkawan  atau dijadikan sahabat dekat manusia.

Sebagai khalifah fil-ardl,  tugas manusia seharusnya memakmurkan alam semesta. Namanya juga memakmurkan alam, idealnya peran-peran yang ditunjukkan oleh manusia adalah peran-peran positip yang mendukung dan melindungi alam dari kerusakan dan kehancuran. Alam yang sudah memberi kekayaan berlimpah kepadanya misalnya harus dijaga kelestariannya supaya alam  tetap bisa berdaya, memberi dan memenuhi kebutuhannya.

Ketika alam ini tidak lagi memberi dan memenuhi kebutuhan manusia, atau terasa sulit digali sumberdaya kekayaannya oleh manusia, maka hal ini mengisyaratkan, bahwa manusia telah berbuat salah dan jahat kepada alam, yang mengakibatkan kondisi sumberdayanya mengalami penyusutan besar-besaran.  Ketidakadabannya secara ekologis telah jadi bumerang terhadap konstruksi kehidupannya.

Boleh jadi pula, alam bukan hanya gagal memberi dan menjaga keberlanjutan  kebutuhan manusia, tetapi juga menjadi salah satu sumber destruktif yang melahirkan petaka seperti bencana alam yang mengakibatkan kerugian besar dalam bangunan sosial, budaya, pendidikan, dan perekonomian bangsa.

Berbagai macam bentuk virus dari hari ke hari bertebaran dimana-mana baik ketika terjadi bencana alam maupun tidak, yang esensinya menunjukkan kalau jagad (alam) ini semakin membahayakan dan rapuh. Rapuhnya alam akhirnya menjadi indikasi rapuhnya bangunan kehidupan moral dan spiritual bangsa.

Ada pepatah kuno yang berbunyi "sesuatu yang buruk itu disebabkan oleh hal-hal buruk pula" (evil causis evil vallacy). Terjadinya berbagai bentuk peristiwa memilukan, petaka sosial atau tragedi yang menghentak kehidupan ini adalah bersumber dari kondisi buruk yang dilakukan dan ditabur manusia. Peristiwa memilukan yang membuat bangsa ini terpuruk juga disebabkan oleh perbuatan manusia yang serba memalukan. Dari perbuatan memalukan telah melahirkan nestapa alam yang mengerikan, dan dari nestapa alam ini lahirkan nestapa kemanusiaan.

Manusia telah atau sedang terjerumus dalam perbuatan tidak beradab atau tidak manusia terhadap alam, yang bukan hanya hanya mengakibatkan kemarahan alam dan Tuhan, tetapi juga menimbulkan kerugian besar terhadap keberlanjutan hidupnya sendiri. Dalam kondisi manusia memilih tidak bersahabat dengan alam atau menjadikan alam sebatas sebagai jalan memenuhi dan melampiaskan keserakahan-keserakahannya, maka perbuatan demikian potensial membuat alam tidak lagi subur, tidak terjaga keindahan, dan sarat virus-virus mematikan.

Ketidaksuburan alam misalnya jelas membuat manusia tidak akan mampu mengharap keuntungan banyak dari alam. Alam yang rapuh dan berpenyakitan tidak bisa diandalkan untuk menyangga kebutuhan manusia yang beragam.  Alam yang sudah mengidap banyak erosi keberdayaannya berarti mengidap kemiskinan kekayaan berharganya, sehingga tidak mampu menyangga kemasalahatan umat secara maksimal.

Eksploitasi dan eksplorasi berlebihan akan membuat alam mengidap "kemiskinan" kekuatan eksistensialnya, sehingga bukan berkah atau atmosfir harmonisasi ekologis yang diperoleh manusia, tetapi musibahlah yang menghancurkannya.

Sudah saatnya manusia menyadari, bahwa tuntutan bersahabat dengan alam merupakan bentuk dzikir yang ditujukan untuk mengaktualkan kembali bangunan hubungan berbasis penyatuan atau pengintegrasian (antara alam dengan kekhalifahan manusia).

Ketika alam sedang porak-poranda, kerap menghadirkan musibah, dan menyusutkan kontribusinya pada peningkatan sumberdaya ekonomi bangsa, maka seharusnya manusia harus ber-dzikir, bahwa sebenarnya dirinya sudah mengambil banyak dari alam dan meninggalkan ketidakadaban yang mengerikan yang tentu saja sangat menyakitinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun