Ada idiom yang berbunyi "ingin menjadi bangsa unggulan, wajiblah mempunyai generasi (sumber daya manusia) unggulan. Tanpa generasi unggulan, suatu bangsa hanya pantas disebut sebagai bangsa lembek dan kalah".Â
 Idiom ini menunjukkan, bahwa masyarakat atau bangsa unggulan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Dengan sumber daya manusia berkualitas, prediket keunggulan sebagai bangsa akan melekat.Â
Keunggulan ini hanya bisa diraih melalui penyelengaraan pendidikan yang memproduk manusia unggulan.
Benarkah sekolah unggulan selalu bisa melahirkan siswa atau sumber daya manusia unggulan? Benarkah generasi unggulan selalu diproduk dari sekolah berlabel unggulan? Atau apa sekolah unggulan benar-benar terbukti "unggulan" dibandingkan sekolah di kawasan pinggiran (marjinal)?
Sehebat apapaun label unggulan disandang oleh suatu sekolah, yang antara lain ditandai dengan kelengkapan sarana belajar-mengajar, "banjir" kebijakan iuran untuk bimbingan belajar, studi wisata, dan pengajarnya lulusan luar negeri, tetapi kalau kalangan peserta didiknya tidak mempunyai mental belajar yang kuat, tidak terdidik mandiri dan tahan banting dalam menghadapi tantangan, atau hanya menjadi kumpulan anak-anak gedongan eksklusif, maka mustahil mereka bisa peserta didik unggulan. Â
Mereka bahkan bisa tergelincir menjadi "siswa pinggiran" yang kebetulan berada atau dipaksakan oleh orang tuanya masuk ke jalur sekolah unggulan.
Mawardi dkk (2008) menyatakan, bahwa tidak sedikit anak-anak yang semasa pra-sekolah (duduk di bangku TK) atau "sekolah persiapan" sudah dipersiapkan dengan segala bentuk materi pelajaran dan privat berharga mahal yang terbilang cukup berat seperti dipaksakan berbahasa Inggris atau menghafalkan banyak kosakata, yang oleh orang tuanya, cara ini digunakan mengantarkan anaknya bisa (wajib) masuk sekolah unggulan, ternyata seringkali mengalami kekurangkreatifitasan dalam mengembangkan atau menalar pelajaran lain, yang lebih mengeksaminasi kemandirian dalam menjawab soal bertemakan problem sosial.
Pernyataan itu setidaknya mengingatkan kita, bahwa banyak aspek yang mempengaruhi pembentukan siswa, sehingga menjadi siswa unggulan. Meski dipersiapkan dengan memboroskan uang banyak, belum tentu siswa ini sukses menuai prediket siswa unggulan yang sebenarnya, pasalnya masih banyak aspek lain yang mempengaruhinya, diantaranya kesiapan fisik dan psikologis siswa saat proses pembelajaran diimplementasikan.
Fenomena selama ini sangatlah paradoksal, di satu sisi ada kecenderungan semakin kuatnya kita mendewakan sekolah unggulan, sementara  untuk sekolah pinggiran jarang sekali dijadikan obyek pilihan atau opsi privilitas oleh masyarakat. Kita umumnya gampang meledek, mencibir, dan hanya memperlakukan sekolah pinggiran sebagai "sekolah kelas dua" atau sekolah yang secara darurat baru dipilih ketika sekolah yang kita anggap unggulan sudah tidaj bisa kita pilih.
Kita memang biasanya terjebak tidak mau memilih sekolah unggulan atau menomorduakan sekolah pinggiran. Kita tergiring menjadikan sekolah pinggiran sebagai "label" disparitas social, yang mengesahkan bahwa sekelompok orang yang berasal dari keluarga tidak mampu (miskin), hanya pantas menempati stratifikasi dunia pendidikan "klas dua", bukan kelas utama.
Kita (orang tua) pun terkadang menggiring anak-anak untuk menjauhi dan mengalinasikan sekolah pinggiran dari ranah pikirannya. Bahkan terkadang kita bawa anak-anak ini sebagai alat mencemooh anak-anaknya tetangga atau sesama yang masuk sekolah pinggiran.