Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bencana, Dampak Kreativitas Pendosa

18 Maret 2021   12:55 Diperbarui: 18 Maret 2021   13:25 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Abdul Wahid

Meski sedang dihadapkan dengan banyak problem berat akibat pandemi Covid-19, tetapi selayaknya kita, khususnya komunitas elit (pemimpin) negeri ini banyak belajar pada sejarah ragam bencana yang tidak pernah habis di dunia ini. Di tahun 2010 misalnya,   Haiti, yang pernah menjadi pusat perhatian dunia akibat bencana alam yang menimpanya layak  dijadikan "guru" yang sedang memberi pelajaran pada dunia.

Seperti pernah ditulis dalam Tajuk Jawa Pos (15 Januari 2010) berjudul "Warning dari Haiti", yang menyebut, Haiti adalah negara kecil nan jauh. Tapi, menjadi terasa dekat di hati kita karena sedang dirundung bencana alam yang memilukan. Ibu kotanya, Port-Au-Prince, berguncang hingga 7 skala Richter dan 100.000 lebih penduduknya diperkirakan kehilangan nyawa. Penjuru ibu kota Haiti menjelma kuburan masal sejak Selasa lalu (12/1). Kantor, hotel, permukiman penduduk, bahkan istana presiden, luluh oleh lindu yang guncangannya dicatat sebagai yang terbesar dalam 200 tahun terakhir. Yang terjadi di Haiti bisa terjadi di mana pun di belahan bumi ini. Sudah semestinya kita selalu ingat akan kekuatan Yang Mahaesa, dan tak satu pun dari kita punya kekuatan untuk menahan tangan-Nya jika memang berkehendak.

Benar kalau bencana di Haiti telah memberikan pelajaran besar bagi dunia, khususnya negeri ini, pasalnya bencana di Haiti menjadi gugatan moral atau kritik keras terhadap sepak terjang manusia di muka bumi. Segala bentuk bencana alam, selain memang ada campur tangan iradah-Nya, juga tidak lepas dari  sepak terjang manusia yang telah "berjasa besar" melakukan kriminalisasi privasi, publik, moral hingga ekologis.

Negara-negara barat atau "bagian" dari barat termasuk dikategorikan sebagai negara yang memang seharusnya dijadikan "guru" oleh bangsa-bangsa di negara lain. Stigma kemajuan di lini budaya dan keadidayaannya di berbagai sektor strategis seperti teknologi komunikasi dan militer, ternyata tidak otomatis menjadikanya "adidaya" saat dihadapkan pada berbagai bentuk bencana alam.

Beberapa tahun sebelumnya, pelajaran juga datang dari Amerika, yakni  badai Katrina mengempaskan Mississipi di Amerika Serikat (AS) pada 25 Agustus 2005. AS harus menanggung kerugian sekitar USD 80 miliar atau sekitar 800 triliun. Sebuah majalah berita mingguan yang terbit di Jakarta "berani" menyebut badai Katrina sebagai karma menyusul ulah tentara AS yang tidak senonoh dan "barbarian" baik di Penjara Abu Ghraib, Iraq, maupun di Penjara Guantanamo, Kuba. Tentu, di samping kejahatan perang AS sewaktu menginvasi Iraq.

Sementara itu, di negara ini, memang bencana alam berklas spektakuler dan bergelar tragedi nasional seperti Tsunami sudah terjadi. Ratusan ribu manusia telah menjadi korban dalam tragedi ini, akan tetapi kalau direfleksi dari rutinitas bencana di republik ini, tampaknya  komunitas elit Indonesia harus lebih waspada, pasalnya bukan tidak mungkin bencana yang lebih dahsyat dan mengerikan menguji dan memprorak-porandakannnya.

Selain itu, tradisi bencana itu sudah "disejarahkan" di negeri ini. Sebut misalnya sebelum kasus Tsunami di Aceh, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.

Setelah pertengahan tahun 2004 hingga sekarang, negeri ini seperti menjadi negeri yang "diharuskan" bersahabat atau  membiasakan diri menerima kunjungan bencana alam. Kita menjadi tidak bangga lagi untuk menyebut Indonesia sebagai Zamrut Katulistiwa akibat seringnya bencana alam menghancurkan sumberdaya alam dan manusia negeri ini.

Faktanya, sudah berkali-kali Allah SWT menjadikan bencana alam sebagai "rasul" yang mengingatkan manusia negeri ini supaya merehabilitasi segala sepak terjang buruk dan kriminalnya, akan tetapi keinginan untuk mengonstruksi jalan kebenaran sebagai jalan penyelamatan dan pencerahan hidup bermasyarakat dan berbangsa belum maksimal dilakukan oleh masyarakat, khususnya komunitas elitnya.

Relasi kausalitas antara dosa dan bencana sering disinggung dalam kisah nubuat (kenabian). Dalam Islam misalnya, ada kisah tentang hancurnya Saba', sebuah negeri makmur sumberdaya alam dan ekonomi yang berubah menjadi melarat karena dosa-dosa penduduknya, khususnya komunitas elitnya, di samping ada kisah tenggelamnya manusia akibat mengingkari ajaran Nabi Nuh, atau hancurnya kaum Nabi Luth akibat perilakunya yang  suka memproduk kekejian (amoralitas), kemnukaran, dan kezaliman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun