Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Koruptor, Machiavelli, dan Ronggowarsito

25 Februari 2021   20:21 Diperbarui: 25 Februari 2021   20:34 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : foto penulis

Oleh: Abdul wahid

Tampaknya, dari waktu ke waktu, kita masih terjerumus atau memerangkapkan diri dalam wilayah yang berseberangan dengan pesan agama. Kita belum bersujud kepadaNya, dan sebaliknya lebih suka dan bangga bersujud pada koruptor. Melalui tradisi berkurban, idealnya kita maskin bersujud kepadaNya, dan bukannya menempatkan koruptor sebagai "Yang Maha Berdaulat".

"Amenangi zaman edan", adalah ungkapan Ronggowarsito yang layak disematkan untuk orde sekarang yang faktanya memang menampilkan lukisan historis kegilaan atau maniak kita (mereka) pada bebagai bentuk penyalahgnaan kekuasaan, yang salah satunya korupsi.

Di berbagai sektor kehidupan ini, rasanya masih tidak sulit ditemukan praktik-praktik politik, ekonomi, budaya, dan hukum yang mencerminkan keunggulan dan kemenangan pelaku kekuasaan bermental paranoid jabatan. Mereka ini sebenarnya berasal dari kalangan orang pintar, paham tentang kebenaran, tidak buta terhadap norma hukum, dan berada di pilar kompetensi penegakan keadilan, namun mereka lebih senang menjatuhkan opsi sebagai pembangkang atau arsitek pembusukan nilai-nilai (values decay).

Pembangkang atau pembusuk merupakan realitas paradok manusia Indonesia yang sering dan lekat berada di garis depan. Mereka seolah terus bermunculan dan menjadi bagian dari reinkarnasi historis, lahir dan mencari tempat nyaman dalam generasi ke generasi, dari zaman ke zaman. Zaman telah menjadi saksi keunggulan praktik-praktik pengamputasian kebenaran dibandingkan gerakan militan yang berorientasi penyejarahan kebenaran. Korupsi, yang merupakan wajah lain dari kemunafikan kekuasaan, tampak lebih berdaulat mewarnai rezim ini.

Nyatanya, tidak sedikit manusia negeri ini yang sedang lupa daratan, hidup tidak beraturan, mengumbar arogansi, larut dalam keserakahan, bangga dengan kejahatan krah putih yang dilakukannya, atau sibuk menganyam dan memproduk tuhan-tuhan gaya baru, yang dianggap sanggup menyenangkan dan memuaskankanya. Tuhan-tuhan gaya baru terus dilahirkan dan dikemas untuk disembah atau dikiblatinya.

Kesenangan dan kepuasan menjadi kosakata yang mendominasi dan melekat bagaikan daging yang tumbuh dalam diri manusia, yang menuntut dipenuhi, meski untuk memenuhinya ini, berbagai cara yang bermodus mengorbankan, menjinakkan, atau mendegradasi moral dan agama dilakukan.

Pemandulan atau penjinakan nilai-nilai moral keagamaan itu dijadikan opsi akibat sudah demikian kuat dan "meraksasanya" dominasi tuntutan kesenangan dan kepuasan yang berdimensi ekonomi, politik, budaya, seks, dan sector duniawi lainnya, yang dalam realitas diri kita sudah diberi ruang sebagai tuhan-tuhan gaya baru yang sah untuk disembah.

Diantara kita sedang sujud dalam balutan kepentingan pemujaan duniawi atau pendisainan hedonisme dan kriminalisme kekuasaan, sehingga nuraninya tampak tumpul, tidak cerdas, atau tidak lagi bening dalam menerjemahkan dimensi kemaslahatan rakyat yang lebih sakral dan fundamental. Hatinya sudah demikian sulit diajak mendialogkan dan membumikan komitmen kerakyatan, karena di dalam dirinya kekuatan spiritualitas atau dimensi "kebertuhanan" sudah disterilkannya.

Mereka itu sedang terseret dalam penafian kesejatian Tuhan dan menikmati keterpurukan keimanan diri dalam jebakan pemberhalaan "tuhan-tuhan modern" seperti apa yang disebut oleh cendekiawan muslim kenamaan Imaduddin Abdurrahim dalam "Kuliah Tauhid"-nya dengan "tuhan triple ta" (tuhan tahta, tuhan harta, dan tuhan wanita).

Dalam wilayah tahta misalnya, sangat gampang terbaca mengenai komunitas elit politik yang sedang larut dalam perburuan kursi dengan prinsip menghalalkan segala cara (permisivisme) seperti diajarkan Machiavelli, bahwa het doelheiling di middelen (segala cara bisa dilakukan untuk menyukseskan keinginan). Mulai dari ijasah dan gelar palsu, politik uang, politik "dagang sapi", dan gerilya-gerilya bertemakan strategi hukum "belah bambu" dijadikan sebagai opsi untuk memperoleh garansi dan lisensi politik yang bisa diobsesikan dapat mengantarkan ke singgasana yang bertabur keuntungan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun