Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksaminasi sebagai "Rasul"

23 November 2020   16:53 Diperbarui: 23 November 2020   17:11 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Abdul Wahid

"Kebudayaan baru adalah kebudayaan yang membunuh umat manusia. Dan pembunuhan itu dilakukan dibalik selimut perdagangan. Cahaya Tuhan mereka renggut dari kalbu manusia" (Muhammad Iqbal).

Era globalisasi informasi terbukti menyebarkan kekuatan dahsyat  untuk mempengaruhi nalar, ideologi, sosial, budaya, dan bahkan nilai-nilai agama yang dipeluk dan semestinya harus dijalani manusia. Setiap pelaku agama telah berada dalam satu  jendela dunia yang mudah untuk dijadikan sasaran kedahsyatan pengaruh informasi, yang tentu saja bermuatan, diantaranya ajakan untuk merubah asumsi, sikap, gaya hidup, dan berelasi sosialnya.

Pelaku agama di masing-masing bangsa tersebut menjadi sasaran pebisnis informasi global, karena di samping komunitas bisnis global ini berobsesi meraih keuntungan ekonomi, juga berkeinginan membangun tatananan dan kultur baru yang sesuai dengan kepentingan masyarakat global. Apalagi sekarang pengguna atau konsumen penggunaan prooduk teknologi global makin menghipnotis masyarakat di belahan bumi manapun.  Di sinilah bahayanya, karena akan banyak kemungkinan terjadi, diantaranya  terpengaruh dan tercerabutnya akar-akar keagamaan dalam diri manusia dan pelaku agama akibat menyerahkan dirinya menjadi budak  perubahan kultur global.

Sardar (1988) menyatakan, bahwa bagi dunia muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus yang harus diatasi demi kelangsungan hidup fisik maupun budaya umat. Tidak jarang tantangan-tantangan ini merupakan dilemma utama: haruskah negeri-negeri muslim menganut suatu teknologi yang kompulsif dan totaliter, dengan resiko timbulnya ketergantungan baru yang lebih subversif dan menghancurkan.

"Engkau adalah sebaik-baik golongan (masyarakat) yang dihadirkan di antara manusia untuk mengamalkan kebaikan dan mencegah kemungkaran" (Ali Imran, 110), adalah firman Allah yang menunjukkan bahwa hidup manusia ini layaknya sebagai "rasul" yang punya tugas ganda, pertama, menabur kebaikan di muka bumi, dan kedua, berjuang di jalan kebenaran untuk mencegah dan menghalau praktik-praktik kejahatan, kekejian, dan beragam kemunkaran.

Tugas yang dipercayakan kepada segmen masyarakat tersebut mengisyaratkan, bahwa potret sejarah perjalanan hidup manusia sulit steril dari berbagai bentuk perilaku yang a-normatif, berlawanan dengan norma agama, atau bermoduskan anomali dan malversasi, sehingga jika menginginkan terjadinya kondisi pencerahan haruslah ada pelaku sejarah yang berdiri di garis kebajikan.

Tampilnya pelaku sejarah yang punya komitmen kuat terhadap pembaharuan dan bahkan dekonstruksi terhadap praktik-praktik kemunkaran serta pembusukan nilai-nilai (values decay) memang merupakan kebutuhan yang selalu harus eksis, sebab jika tidak, potret kehidupan masyarakat akan lebih buruk dan bukan tidak mungkin akan bertaburan pola perilaku berjenis desakralisasi agama.

Pola perilaku berjenis desakralisasi agama merupakan produk anak zaman yang sedang terseret oleh rotasi dinamika dan gelombang desakan besar kepentingan hidup manusia sendiri yang sedang didewakan atau dikultuskannya melebihi wilayah moral yang sudah dipondasikan oleh agama. Agama menjadi tidak lebih dari kumpulan doktrin kosong yang kehilangan makna (meaningless) akibat dikalahkan oleh desakan kuat kepentingan duniawi yang sedang dipanglimakan manusia.

Akibat perilaku manusia yang bercorak demikian itulah, jadinya potret kehidupan manusia terasa mengidap apa yang disebut oleh Sosiolog kenamaan Kazuo Shimogagi dengan "nihilisme total", artinya potret kehidupan manusia ini seperti wajah dunia tak terkendali, tidak punya nyawa yang menghidupkan, terasa tidak punya baju moralitas, dan gampang membenarkan kekejaman, penderitaan, penindasan, penelanjangan norma, dan berbagai bentuk eksploitasi manusia atas manusia.

Wajah masyarakat seperti itu dapat terbaca dalam kehidupan masyarakat sekuleristik dan hedonistik, karena di masyarakat demikian ini, tingkat penghargaan manusia terhadap norma sangatlah rendah, sementara di sisi lain, berbagai bentuk perilaku yang bercorak animalisasi atau pembinatangan manusia  sangat ditoleransi dan bahkan dikultuskannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun