Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Orang-Orang Langit"

6 Oktober 2020   05:53 Diperbarui: 6 Oktober 2020   06:16 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://bukanarjuna.com/

Oleh: abdul Wahid

Pengajar Ilmu Hukum UniversitasIslam Malang dan penulis buku hukum dan agama

"Hubbul Wathan Minal Iman" (Mencintai tanah air adalah sebagian dari iman). Dalam sejarahnya, kalimat ini banyak yang menganggap berasal dari hadits. Namun, banyak sekali perbedaan pendapat mengenai hal itu, seperti yang disampaikan oleh Nasiruddin Al-Albani atau Jamaluddin al-Qasimi. Namun banyak ulama yang lebih mengambil inti sari dari pemaknaan kalimat tersebut, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, ulama pensyarah Sahih al-Bukhari atau Abdurrahman as-Sakhawi yang mengatakan kalimat tersebut belum ditemukan sumber haditsnya, namun maknanya sahih (dipraktekkan oleh Rasulullah di zaman Rasulullah (Dimas Agus Hairani, 2019).

Jika berpijak pada sumber itu, maknanya siapa yang mau digolongkan dan berhak mendapat stigma sebagai mukmin haruslah menjadi orang yang benar-benar mencintai negara ataukah bagaimana bisa membuat rakyat bisa mencintai dirinya.

Pijakan agama itu ada yang menafsirkan kalau sebatas digunakan untuk menundukkan rakyat kecil agar tidak melakukan atau memproduk sikap dan perilaku yang bercorak ekstremis, radikalis, dan fundamentalis  ketika dihadapkan dengan kewajiban-kewajiban yang sudah digariskan oleh negara. Dalam tafsir negara ini, agama diposisikan sebagai sumber doktrin yang memerintahkan supaya setiap pemeluk agama sadar, rela, dan bertanggungjawab untuk melaksanakan perintah negara.

Ada sejumlah tokoh agama juga mendukung pemerintah (negara) yang sedang mengusahakan yang terbaik untuk rakyat kecil, dengan catatan mereka dimintanya untuk bersabar dan memberi kepercayaan kepada pemerintah untuk mengefektifkan dan mengamankan apa yang sudah dikeluarkan sebagai wujud  "ayat-ayat negara".

Rakyat kecil disuruhnya menjadi pemeluk agama yang setia, yang mau mengamalkan norma-norma akhlak bernegara atau etika kepatuhan dalam kehidupannya, seperti memberikan kepercayaan kepada pemerintah, tidak mengganggu pemerintah, menerima realitas dan mendukung apa yang sudah ditetapkan pemerintah, atau menyikapi kalau pemerintah bisa salah dan khilaf.

 Dalam tafsir a contrario, kalau rakyat kecil bersuara, usil, dan menyikapi kalau pemerintah itu tidak populis, maka rakyat kecil ini secepatnya dikategorikan pembangkang, dan perusak kepentingan makro. Kategori ini kemudian diseret memasuki wilayah agama, bahwa rakyat kecil  sedang kehilangan kecerdasan keberagamaannya dan tidak layak ditempatkan sebagai orang-orang yang beriman.

Kalau sudah begitu, agama tidak lebih dari suatu paradigma strukturisasi negara atau instrumen represif, yang dijadikan alat untuk menciptakan kebencian atau pelukaan terhadap rakyat kecil. Rakyat kecil diidentikkan, meminjam istilah Cak Nun (Emha Ainun Najib)  hanya sebagai sekumpulan orang-orang yang perlu disadarkan, dikhutbahi, diberi pengajian habis-habisan dan dijadikan "proyek" dakwah politik yang berstatus objek.

Dalam kasus itu, rakyat kecil yang sudah menderita akhirnya menjadi lebih menderita atau dibuat semakin menderita akibat dijadikan sasaran oleh sekelompok orang yang mendeklarasikan  dirinya sebagai "orang-orang langit" atau manusia-manusia khos, seperti punggawa-punggawa negara yang merasa paling benar dalam beragama, pemegang kunci utama surga, dan pencegah dan sebaliknya pembuka pintu neraka.

Ironisnya lagi, punggawa negara yang meminta rakyat kecil bersikap arif dan tidak berlebihan menyikapi titah negara itu juga sedang atau dalam ranah tertentu, terkadang diposisikan sebagai tersangka "maling kundang".  Bagi rakyat kecil yang tidak neko-neko, permintaan ini dinilainya wajar, karena selama ini rakyat kecil memang tidak terdidik untuk berani menyalahkan atau mengkritik secara radikal pejabat publik, terutama kalau pejabat ini dari trah kiai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun