Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membumikan Politik Hati Nurani?

18 September 2020   19:00 Diperbarui: 18 September 2020   19:08 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Abdul Wahid

"Hak Asasi Manusia (HAM) ialah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat  hidup sebagai manusia" (Jan Materson) atau dalam ABC, Teaching Human Rights, United Nations, P.5: human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being.

Perkembangan  akhir-akhir memang terasa ada sikap keraguan masyarakat terhadap peran Partai Politik (Parpol) dalam konstruksi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Keraguan atau barangkali ketidakpercayaan itu berangkat dari evaluasi yang disampaikan oleh berbagai pihak yang menilai kalau kinerja Parpol belum maksimal. Parpol disimpulkannya belum menjadi kekuatan politik rakyat dan masih sebatas menempatkan rakyat sebagai objek (kendaraan) untuk membingkai kekuatan politiknya Parpol.

Dari polling itu ada penilaian bahwa ada gejala pelebaran reduksi kredibilitas rakyat yang tak semata-mata dialamatkan kepada eksekutif, tetapi juga yudikatif dan legislatif. 

Mereka menilai, bahwa tiga lembaga strategis "milik" rakyat itu belum maksimal mengabdikan dirinya atau "membumikan" loyalitas populistiknya, sebaliknya  institusi  itu masih "menghambakan" dirinya dan jadi subordinasi kekuatan Parpol. 

Parpol belum menunaikan tugas sucinya melalui kader-kader terbaiknya yang disebar di sejumlah institusi strategis untuk menomo-satukan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan diri dan Parpol itu sendiri.

Dalam tataran itu, posisi Parpol masih tidak ubahnya sebagai kekuatan yang membenarkan "sabdo pandito ratu",  yang nota bene Parpol akhirnya jadi pemegang kunci utama untuk melahirkan dan menkomoditi fatwa-fatwa politik yang tidak terbantahkan atau jadi kekuatan monolitik yang bisa menentukan "hidup mati", sehingga loyalitas kader yang berbajukan kedaulatan rakyat, kinerjanya bukan representasi maksimal kedaulatan rakyat, melainkan representasi kekuatan Parpol.

Oleh kader-kader di tiga lembaga strategis itu,  Parpol masih diperlakukan  layaknya bos besar atau pemegang kartu mati  yang menentukan karier politik-ekonominya. Barangkali segmen-segmen strategis yang kehilangan kecerdasan moral-intelektualnya ini  merasa miopik jika sampai Parpol menggunakan hak privilitasnya, seperti recalling bagi anggota legislatif dan mosi tidak percaya bagi yang berkarir di eksekutif.

Setidaknya hasil  polling itu dapat dijadikan  sebagai rujukan moral dalam menilai kinerja dan diskresi politik yang dihasilkan Parpol. Apapun namanya evaluasi yang sudah dibuat "perwakilan" masyarakat dapatlah dijadikan sebagai kritik yang bisa mencerdaskan kinerja Parpol. Parpol tidak bisa menutup mata terhadap segala "rapor" yang menilainya, sebab mereka ini juga bagian dari suara riil rakyat, meskipun barangtkali juga tidak lepas dari unsur pergulatan  kepentingan (subjektifitas).

Memang, idealnya Parpol, meminjam istilah budaywan Kuntowijoyo harus mendukung gerakan "politik hati nurani", artinya berbagai gerakan politik di luar gedung dewan dan Parpol wajib disikapi dengan kebeningan atau kefitrian hati nurani, agar dinamika aspirasi rakyat yang mencuat dan mengeksplosi adalah benar-benar kesejatian suara kedaulatan rakyat. Jerit tangis dan gejolak tuntutan yang bergema di luar gedung dewan merupakan  amanat yang wajib diperhatikan, sebab mereka telah mempercayakan hak kedaulatannya.

Tidak gampang memasuki relung kesejatian rakyat. Rakyat, apalagi yang berasal dari komunitas akar rumput (grass root community) seringkali juga tidak berani menunjukkan "bahasa" kesulitannya tatkala berhadapan dengan  elit kekuasaan yang tampilan komunikasi politiknya lebih menonjolkan "bahasa negara".  

Mereka sudah sekian lama hidup dalam kondisi dan didikan yang menempatkan dirinya bukan sebagai "tuan" di negerinya sendiri. Mereka sudah dibiasakan dan dikulturkan dalam suasana "bisu" dan serba antagonistik, sehingga untuk menangkap dan memahami aspirasinya, kadang-kadang dibutuhkan pendekatan istimewa, bahkan kalau perlu "penerjemah" yang betul-betul bisa menerjemahkan aspirasinya. 

Ada prinsip pragmatis yang masih terasa kuat di masyarakat, bahwa masyarakat  tak ingin menuai kesulitan berlapis tatkala berhadapan dengan komunitas elit yang dinilai terkadang nekad mengorbankannya. Hak asasi manusianya (HAM) seperti hak suaranya dipinang, tetapi ragam penderitannya diabaikan. Bahkan rakyat bukan hanya merasa diabaikan, tetapi juga dituntut kembali jadi "ongkos"  kepentingan-kepentingan eksklusifnya.

Di dalam diri rakyat, bukan hanya ada hak suara, hak beragama, hak mengekspresikan diri, dan hak membuat jaringan dan organisasi politik, tetapi juga punya hak untuk disejahterakan atau dibebaskan dari penyakit kemiskinan, diberikan pendidikan yang layak, diberi iklim social-politik yang aman yang menjamin keamanan, dan utamnya sekarang di era pandemi Covid-19, hak kesehatan, dan keselamatan nyawanya, yang wajib diwujudkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun