Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cintaku Padamu Tanpa Syarat

1 September 2020   10:54 Diperbarui: 5 September 2020   06:48 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://images.app.goo.gl/umLu6y9Er9w7S8CR7

Tujuh abad lalu, Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar asal Balakh, dalam karya monumentalnya Matsnawi berujar, bahwa "tanpa cinta, dunia akan membeku". Cinta ibarat lautan luas nan dalam. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan, dan antar sistem hidup yang berbeda.

Kalimat bersayap yang dilontarkan penyair itu menekankan pada kata "cinta".  Cintalah yang menentukan makna hidup manusia diantara pergaulan dengan sesama, dalam lingkaran budaya, lintas bangsa, relasi etnis, bangunan politik dan agama. Cintalah yang menjadikan kita bisa menikmati pluralitas dengan jiwa kearifan, kesantunan, dan keberadaban.

Prinsip "persaudaraan dalam perbedaan dan bersaudara dalam perbedaan" akan menjadi modal moral yang mampu membingkai bangunan kehidupan kemasyarakatan secara eksklusif dan humanistik bilamana persaudaraan itu disejarahkan dengan dan melalui dorongan cinta.

Dalam ranah kehidupan di era pabdemi Covid-19, keberagamaan menjadi eksaminasi cinta yang menentukan kebahagiaan dan keberlanjutan, manakala setiap diri kita menjadikan cinta sebagai spirit aktifitasnya tanpa syarat, tanpa meminta kompensasi politik, ideologis, agama, dan lainnya.

"Lewat cintaku, yang jika disenaujab tanpa syarat, akan mampu menyelami telaga kesulitan atau derita orang lain, misalnya yang terkena dampak komplikatif Covid-19, karena dalam dirinya muncul panggilan pengabdian  kalau dirinya bukan hanya milik dirinya, tetapi juga menjadi "milik" orang lain yang dibelit derita, atau menjadi "hak" keberlanjutan orang lain yang butuh ditegakkannya.

Memang, tanpa cinta, dunia akan benar-benar membeku, pasalnya kalau dalam diri kita tidak bersemai rasa cinta, berarti akan ada kebekuan sistem, stagnasi budaya, represi politik, arogansi kelompok, dan kematian relasi antar manusia yang berbasis  saling mencintai dengan tulus (tanpa syarat).

Sudah banyak kita temukan berbagai bentuk "petaka" psikologis dan ekonomi misalnya selama Covid-19 akibat sikap dan perilaku apatis, keserakahan atau baik yang pelakunya individual maupun kelompok, yang mencerminkan kondisi riil "dunia sedang membeku" akibat kematian cinta di dalam diri manusia baik sebagai individu, unsur masyarakat maupun pengelola negara yang "nakal".

Kalau dalam diri manusia ini diberi tempat dan dihidupkan kata "cinta", maka bangunan kehidupan bermasyarakat ini tidak seringkali dihadapkan berbagai bentuk penderitaan dan keprihatinan, karena di dalam diri pecinta ini punya kecenderungan kuat untuk melabuhkan dirinya dalam pemihakan atau perlindungan martabat kemanusiaan.

Sayangnya, manusia lebih sering menjatuhkan opsi yang keliru dalam berelasi dengan sesamanya. Opsinya ditujukan pada target memuaskan kepentingan sesaat, mengobati kekecewaan, dan meledakkan emosinya, yang akibat opsinya ini, banyak nyawa yang dipertaruhkan.

Kritik sebagai bangsa barbar itu pernah dilontarkan J.E. Sahetapy (2002) mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah, tamah, beradab, santun, religius,  tolong menolong, dan gotong royong ini bisa berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis, brutal,  dan biadab dalam hampir seluruh bidang kehidupan, dan strata. Brutalitas atau kebiadaban ini diantaranya dapat terbaca dengan mudah dalam berbagai kasus kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

Di tengah masyarakat negara ini, barangkali kita merasa sedang atau telah berada di tengah pergulatan yang akrab dengan berbagai kesulitan, siksaan, kepapan, atau akumulasi keprihatinan yang membuat diri kita gampang terjebak menjatuhkan pilihan melakukan penghakiman bertemakan "habisi siapa yang jadi penghalang, sikat siapa saja yang meledek penderitaan, musuhi siapa saja yang memuja kemewahan di atas kemiskinan, atau jagal siapa saja yang telah menabur kezaliman individual maupun kekusaan, atau tabrak saja saja yang menghalangi jalanan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun