Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keluarga Baru Bernama "Mafioso"

29 Juni 2020   16:38 Diperbarui: 29 Juni 2020   16:28 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sutrisnobudiharto.net

Dalam kondisi apapun, termasuk saat negeri sedang diuji pandemic Covid-19, salah satu subyek yang harus selalu menjadi perhatian adalah anak. Anak ini tidak boleh lepas dari baacn atau respon keluarga, sekolah, negara, dan masyarakat.

Apapun kondisi yang sedang menimpanya, termasuk ketika sampai terseret atau terpuruk jadi anak jalanan, mereka (anak) ini wajib diperhatikan, diantaranya dengan cara dilindunginya, sebab jika tidak, mereka akan bisa dipengaruhi dan diseret masuk sangat dalam ke dunia para pelaku dan produsen kejahatan.

Mereka itu pun potensial dapat menjadi bumper atau dijadikan pelapis organisasi kriminal ketika kekuatan lain pintar (licik) memanfaatkannya untuk menjadi kurir, negosiator, atau bahkan korban untuk mengamankan sang aktor kriminalnya. Kasus demikian bukan hal asing dalam dunia kriminalitas terorganisir yang selalu membutuhkan elemen-elemen secara berlapis guna menopang kinerjanya. Dalam ranah ini, anjal terdidik (terkondisikan) oleh miliunya menjadi pelanggar HAM.

Mereka itu dibentuk dan bahkan "diolah" secara kultural menjadi kekuatan yang diidealisasikan sesuai dengan pengajaran yang "kurikulumnya" sudah dibuat sedemikian rupa oleh  para pelaku dan produsen kriminalitas, yakni keluarga barunya yang bernama "mafioso". Keluarga baru ini hadir seiring dengan perkembangan zaman, yang memang selalu ada dengan opsi-opsinya yang bisa memikat anak-anak.

Dalam skenario dunia atau keluarga baru mafioso, perekrutan tahap awal anjal memang diperlakukan sebagai "kekuatan pinggiran", pasalnya di tahap ini mereka dimasukkan dalam ranah eksperimen terhadap pemahaman misi, doktrin,  dan memuluskan aksi, sementara ketika sudah memasuki tahap selanjutnya, mereka dikondisikan untuk menyatukan dirinya dalam ideologi dan strategi atau sebagai pelaku kriminalitas yang benar-benar berjiwa militan.

Kekuatan mafioso (sindikasi kriminalitas) itu bisa memainkan peran sebagai "bapak asuh" dari Anjal yang dibiarkan mengisi kantong-kantong jalanan tanpa respon positip dari pemerintah dan masyarakat. Ketika masyarakat  mengabaikan mutiara hatinya ini berserak di jalanan tanpa didikan atau pembinaan yang benar, adalah sangat potensial Anjal ini berhasil dijinakkan dan dikuasai oleh kekuatan kriminalitas yang dalam misi, janji, dan aksi lebih memikatnya.

Ancaman yang membayangi kehidupan anjal itu seharusnya menyadarkan dan membangkitkan emosi kita, khususnya pemerintah dan komunitas elit untuk mereformasi pikiran dan perilakunya yang berbasis pemihakan pada anjal. Sementara keberpihakannya kepada anjal ini dibuktikan dengan cara menjadi bapak asuh atau orang tua angkatnya, atau paedagog yang memainkan peran sebagai protector di segala lini kehidupannya.

Kalau kita tidak rela atau tidak ingin anjal akan dibina, diasuh, atau diarahkan oleh kekuatan kejahatan terorganisir menjadi anjal yang kriminal atau gemar menyuburkan pelanggaran atas hak-hak orang lain, maka kitalah yang harus mengorganisir diri untuk menjadi pendidik, pengayom atau pelindungnya. Seharusnya kita memang harus tidak merelakan mereka dibentuk oleh "komunitas kriminalitas".

Kita itu berkewajiban untuk menyiapkan model pendidikan atau pembelajaran HAM yang signifikan dengan realitas kehidupannya yang akrab dengan dunia jalanan, wilayah sosial "abu-abu", dan rawan gaya berelasi secara permisif (serba menghalalkan segala macam cara, asalkan tujuannnya bisa tercapai).

Ada pepatah yang menyebutkan "evil causis evil vallacy" atau sesuatu yang buruk itu terjadi berkat hal-hal buruk yang mempengaruhi pula. Anjal rawan terperosok dalam kondisi lebih buruk seperti pelanggar HAM serius dibandingkan hanya "sekedar" mewarnai kehidupan kota dengan kenakalannya, yakni menjadi agen-agen mafioso yang menebar kejahatan terorganisir, bilamana kondisi bermuatan anomaly dan patologis sehari-hari atau setiap saat terus kita biarkan mengajarinya (membentuknya).

Kekuatan sindikasi kriminalitas yang bisa menjerumuskan anjal sebagai pelanggar HAM itu sudah saatnya digantikan, dikalahkan, atau setidaknya dihadang oleh peran edukatif keluarga (masyarakat), sekolah, dan pemerintah. Kalau kekuatan keluarga sudah tidak mampu membentuk anjal menjadi sosok pegiat atau pelindung HAM, maka masyarakat dan pemerintah tidak boleh mengabaikannya.

Trisula pendidikan (keluarga, sekolah, dan negara) itu merupakan pemegang amanah yang menentukan masa depan anjal. Sedangkan  masa depan anjal ini sangat ditentukan oleh daya serapnya terhadap pola pendidikan HAM yang ditransformasikan kepadanya. Antara komunitas paedagogis dengan pengaruh eksternal akan terus bertarung sepanjang hayat sesuai dengan visi, misi, dan tujuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun