Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak di Keluarga Miskin Era Covid-19

16 Juni 2020   17:39 Diperbarui: 16 Juni 2020   17:51 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Abdul Wahid

Masih menjamurnya kekerasan domestik (domestic violence) atau kekejaman dalam rumah tangga, meski era pandemic Covid-19 yang menempatkan anak-anak menjadi korbannya merupakan bagian dari mata rantai kefakiran ekonomi yang menimpa masyarakat secara umum dan khususnya keluarga. Semakin fakir kehidupan ekonomi keluarga, maka semakin rentan pula keluarga ini memunculkan perilaku kekerasan.

Martin Luther pernah mengingatkan, bahwa kemiskinan merupakan sumber penyakit dalam kehidupan bermasyarakat dan negara. Bangunan suatu negara tidak akan cukup kuat jika unsur-unsur kehidupan manusianya menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat serius.

Faktor kemiskinan yang serius inilah yang membuat seseorang gagal mendidik emosinya, tidak cukup kuat menahan amarahnya, dan gampang kehilangan nalar sehatnya. Hal ini dapat terbaca di saat Covid-19, yang memang salah satu efeknya adalah "menghadirkan" kemiskinan baru di tengah masyarakat.

Dalam ungkapan Luther tersebut, sudah jelas bahwa kemiskinan yang tergolong serius atau popular disebut kemiskinan absolut (kefakiran), ternyata bertali temali dengan kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Ketika di tengah masyarakat banyak bermunculan kejahatan atau kekejaman seperti kekerasan yang mengorbankan anak-anak, maka hal ini mengindikasikan kalau di tengah masyarakat ini sedang terjadi eksplosi atau booming kefakiran.

Nabi Muhammad SAW juga sudah mengingatkan "kefakiran itu dekat dengan kekufuran", yang berarti dari kefakiran inilah akan memunculkan banyak atau beragam perilaku "ingkar", baik ingkar, merendahkan, membangkang atau membusukkan ajaran kebenaran dan kesusilaan maupun menafikan dan meminggirkan responsibilitas nilai-nilai kemanusiaan.

Seseorang yang sedang fakir secara ekonomi merupakan sosok yang sedang berada di titik ketidakberdayaan untuk mengemas perilaku yang bercorak produktif, inovatif, dan humanistik, atau kalaupun bisa, maka apa yang dilakukan ini sudah melalui upaya luar bisa, mengerahkan segala kemampuan baik fisik maupun non fisik, yang hasilnya belum tentu sesuai dengan targetnya.

Di dalam diri seseorang atau komunitas yang sedang fakir itu, tidak ada jaminan bahwa ketahanan psikologisnya akan tetap kuat, tahan uji, atau sabar dalam menghadapi ujian yang terus menerus menantangnya, baik dari lingkungan orang dekat maupun unsur-unsur soaial. Kalau yang sedang teruji ini adalah orang tua, maka mereka ini belum tentu mampu mengendalikan emosinya ketika anak-anaknya sedang menuntut (mengikuti kemauannya) yang minta dibelikan sesuatu barang misalnya, yang harganya melebihi kemampuannya.

Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rozi CS menunjukkan, bahwa secara umum, anak-anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga miskin merupakan anak-anak yang tumbuh berkembang dengan balutan kekerasan, baik kekerasan dalam menjalankan pekerjaan, kekerasan seksual, maupun kekerasan akibat dianiaya. Keteraniayaan anak-anak ini akan semakin parah jika keluarga atau orang tua ini juga menempatkan kekerasan sebagai segmentasi "ideologi" yang harus dipertahankan untuk mendidik, menghadirkan ketakutan, dan membentuk kedisiplinannya.

Dalam pikiran keluarga (orang tua) miskin itu, khususnya di era pandemi Covid-19 ini semakin keras dan represip perilaku yang bisa ditunjukkan atau dilampiaskan kepada anak-anak, maka mereka ini akan bisa tumbuh berkembang menjadi manusia-manusia tangguh, tidak cengeng, dan tahan menghadapi berbagai problem sosial yang kejam. 

Pengalaman dan budaya kekerasan (culture of violence) yang mengorbankan anak-anak, namun oleh orang tua atayu keluarganya dianggap sebagai modal funamental adaptasinya anak-anak miskin ini jelas membuat mata rantai kekerasan terhadap anak semakin berlanjut.

Hal itu secaa tidak langsung menunjukkan, bahwa di lingkaran keluarga miskin atau fakir, nasib anak-anak Indonesia benar-benar dipertaruhkan. Mereka bisa menjadi korban secara berkelanjutan akibat kesalahan pemahaman dan perlakuan yang ditunjukkan keluarga fakir ini kepadanya. 

Artinya, ketika kelak mereka menjadi orang tua atau pemimpin (penguasa) keluarga, mereka pun potensial mengadopsi pengalaman kekerasan yang pernah dialami dan punya andil membesarkannya.

Apapun dalih yang ditunjukkan oleh keluarga fakir ini, posisi anak-anak tetap sebagai tumbalnya. Status tumbal ini akan sulit dihilangkan atau diminimalisir, jika pemerintah tidak benar-benar melibatkan dirinya dalam "pembumian" konkrit peran-peran humanitasnya terhadap keluarga atau orang tua miskin. Pengurangan angka kefakiran adalah syarat mutlak (utama) yang akan menentukan terwujudnya humanisasi kehidupannya.

Pengabaian terhadap keluarga fakir merupakan faktor patologis yang secara tidak langsung membuka kran terjadinya dan meluasnya kekerasan domestik yang mengorbankan anak-anak. Jika keluarga miskin ini bisa dikurangi kondisi penderitaannya, maka mereka pun tidak akan gampang menjatuhkan tangan-tangan kotor (the dirty hands) yang berbentuk ketidak-adaban kepada anak.

Selain kemiskinan, Pemerintah (melalui Komisi Perlindungan Anak misalnya) dapat mengkampanyekan setrategi penciptaan iklim pembelajaran keluarga miskin yang berbasis penempatan anak sebagai subyek yang harus disayang, dikasihi, dan dimanusiakan, dan bukan dikorbankan dalam pola-pola represip, yang menempatkan anak sebagai tumbal. 

Meski keluarga ini hidup dalam kefakiran, tetapi segenap elemennya haruslah dikobarkan atau dinyalakan komitmennya untuk tidak padam dalam mewujudkan perlindungan yang memanusiakannya. Kefakiran juga harus diperanginya secara maksimal supaya tidak menimbulkan dan mengakarkan ragam penyakit sosial lainnya, yang ujung-ujungnya memposisikan untuk anak dikorbankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun