Bagian 10: Suara yang Terpendam
Malam turun pelan. Di luar, rintik hujan kembali jatuh, seperti suara langkah-langkah kecil yang ragu di atas atap.
Arman duduk di ruang kerja, menatap kosong layar laptop yang menyala tanpa isi. Buku diari itu kini berada di meja, tertutup, tapi keberadaannya seperti menyimpan letupan yang belum sepenuhnya padam.
Di kamar, istrinya belum bicara banyak sejak sore. Tak ada pertengkaran. Hanya diam. Dan di dalam diam itulah Arman merasa paling rapuh.
Ia membuka folder lama di laptopnya. Folder yang bernama Fiksi Pribadi. Di sana ada puluhan file berisi tulisan---kisah-kisah khayalan, puisi, catatan harian yang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca siapa pun.
Salah satu file berjudul "Cahaya di Ujung Pulau."
Ia membacanya kembali. Betapa lebay, pikirnya kini. Tapi juga betapa jujur dalam kepalsuannya. Karena di balik tokoh Cahaya, ada sosok dirinya sendiri---seorang pemuda yang ingin merasa dicintai, ingin diterima.
Suara langkah pelan mendekat. Istrinya berdiri di ambang pintu, ragu.
"Kamu sering merasa kesepian, ya?" tanyanya.
Arman menoleh, perlahan. "Dulu... iya. Bahkan waktu aku dikelilingi banyak orang."