Bagian 3: Surat yang Tak Pernah Dibalas
Siang menjelang. Matahari tak lagi malu-malu, tapi panasnya belum menyengat. Arman duduk di ruang tamu dengan jendela terbuka. Udara hangat bercampur aroma pohon mangga dari pekarangan. Ia memandang kosong ke luar, ke arah jalan kecil di depan rumah, tempat anak-anak sering bermain bola di sore hari.
Di tangannya, sebuah kotak kayu tua. Ia temukan tadi pagi di lemari bawah tangga, ketika iseng menyapu bersih tumpukan lama yang jarang disentuh. Kotak itu penuh debu, terkunci rapat, seolah menyimpan lebih dari sekadar kertas dan benda-benda remeh.
Arman membuka perlahan. Derit engselnya pelan tapi menusuk, seakan menandai dibukanya kembali pintu yang telah ia kunci selama puluhan tahun. Di dalamnya, surat-surat, beberapa foto, dan secarik pita biru yang sudah pudar warnanya. Di antara semuanya, ada satu amplop kusam yang langsung membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Tulisan tangan itu---rapi, sederhana, dan terlalu akrab.
Mas Arman yang sangat aku sayangi,
Sekarang Ibuku sakit keras. Sejak Bapak menceraikan Ibu, hidup kami menderita. Aku sudah lulus dan menjadi guru, tetapi masih honorer dengan gaji kecil.
Sekarang aku dilamar anak lurah. Aku hanya ingin kepastian dari Mas. Jika Mas mencintaiku, aku akan menolak lamarannya. Tapi aku tak pernah mendengar pernyataan cinta dari Mas. Katakan, apakah aku harus menerimanya?
Tangannya gemetar. Ia sudah tahu isi surat itu, telah membacanya entah berapa kali dulu. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Surat itu bukan lagi pesan dari masa lalu. Ia kini terasa seperti luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
Arman menyandarkan tubuh ke sofa. Di kepalanya, ingatan itu datang lagi, lebih jelas dari mimpi.
***
Wati berdiri di depan rumahnya, rambut dikepang dua, mengenakan daster bunga kecil. Di tangannya, gitar tua yang sering mereka mainkan bersama. Ia menyanyikan lagu yang sama setiap senja: Dunia ini panggung sandiwara---meski kadang suaranya fals, nadanya lari, tapi selalu membuat Arman tersenyum.