Bagian 2: Rumah Tanpa Suara
Pagi datang tanpa gegas. Matahari muncul malu-malu dari balik tirai awan, meninggalkan cahaya pucat di sela-sela jendela. Hujan semalam masih menyisakan genangan kecil di pekarangan. Di dapur, suara ceret mendesis pelan, tanda air hampir mendidih.
Arman duduk di meja makan, mengenakan kaus longgar dan celana olahraga. Di tangannya, secangkir kopi hitam mengepul perlahan. Di depannya, istrinya, Rina, menyantap roti bakar sambil membaca layar ponsel. Tak ada kata, hanya bunyi renyah dari gigitan dan sesekali seruput teh manis dari cangkir keramik.
Mereka telah menikah hampir dua puluh lima tahun. Dalam kurun waktu itu, mereka membangun rumah, membesarkan dua anak, melewati suka duka yang tak sedikit. Tapi belakangan, ada yang berubah. Bukan dalam bentuk pertengkaran besar atau air mata yang tumpah---melainkan dalam diam yang makin lama makin pekat.
"Semalam Mas nggak tidur?" tanya Rina tanpa menoleh dari ponselnya.
Arman mengangguk pelan. "Nggak nyenyak aja."
"Jangan terlalu banyak pikiran," sahut Rina singkat, lalu menambahkan, "Kopi masih ada?"
"Masih," jawab Arman. Ia berdiri, menuangkan secangkir lagi untuk istrinya, lalu duduk kembali.
Ia memperhatikannya sejenak---kerutan halus di sekitar mata, garis-garis lelah di wajahnya. Rina bukan perempuan yang ia nikahi karena cinta yang meledak-ledak. Pernikahan mereka lebih seperti keputusan logis yang diambil saat waktu mendorongnya untuk 'dewasa'.
Rina menerima Arman dengan tenang. Ia tak pernah menuntut banyak, tak pernah mencurigai, tak pernah memaksa Arman membuka diri. Tapi justru itu yang terkadang membuat Arman merasa jauh.