Mohon tunggu...
Abdul Rahman Saleh
Abdul Rahman Saleh Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pustakawan di Institut Pertanian Bogor

Bekerja di Perpustakaan IPB sejak tahun 1982 dan kini sudah menduduki jabatan Pustakawan Ahli Utama di perpustakaan yang sama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nasib Perpustakaan di Masa Datang

21 Februari 2023   15:10 Diperbarui: 22 Februari 2023   11:22 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memperhatikan arah perkembangan perpustakaan di Indonesia, di satu sisi saya sangat gembira. Tetapi di sisi lain saya malah cemas. Gembira, jelas perkembangan ini yang menjadi pikiran saya di tahun-tahun awal diperkenalkannya komputer di perpustakaan. 

Dulu di awal tahun 1980an ketika saya baru masuk menjadi pegawai perpustakaan, saya dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar komputer. Saat itu perpustakaan di Indonesia yang menggunakan komputer baru bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Tercatat Lembaga Manajemen Kelistrikan (LMK) dan Perpustakaan ITB yang saya ingat sudah menggunakan komputer, tepatnya mikrokomputer. 

Komputer yang digunakan berteknologi sangat terbatas jika dibandingkan dengan sekarang. Tipe komputer yang digunakan masih generasi 8086 atau 8087 dengan layar monitor masih monokrom yang berwarna hijau. Memorinyapun amat sangat terbatas. Kapasitas harddiks yang paling besar baru 20 MB. Komputer itulah yang saya gunakan untuk belajar komputer di Amerika Serikat. Aplikasi yang saya pelajari saat itu baru DBaseII, dan pengolah kata PWriter. Saya belum mengenal Wordstar apalagi MSWord. Generasi Windows belum lahir. Oleh karena itu melihat perkembangan otomasi perpustatakaan dan perkembangan perpustakaan digital sekarang  ini sangat menggembirakan. Sudah sangat maju dibandingkan dengan saat saya belajar komputer. Para pustakawan yang tertarik untuk mengembangkan perpustakaan digital sudah sangat banyak. Tidak seperti di jaman saya dulu di mana pustakawan yang tertarik kepada penerapan komputer di perpustakaan sangat terbatas.

Di sisi lain menurut saya mencemaskan. Apakah Anda membayangkan ketika semua layanan perpustakaan sudah dapat diperoleh melalui telepon genggan di tangan Anda? Perpustakaan dan pustakawannya kemana? Apakah akan seperti yang diramalkan dengan hadirnya disruptive teknologi di perpustakaan maka pustakawan akan tergerus dan lambat laun akan menghilang?

Mari kita tinjau menggunakan teori mediasi Kulthau. Adalah seorang professor di Amerika yang bernama Carol Collier Kulthau yang memperkenalkan Mediasi ala Kulthau. Menurut beliau kalau tidak ada persoalan maka pemakai perpustakaan tidak perlu dimediasi atau dengan kata lain tidak perlu intervensi pustakawan. Pemakai bisa mencari dan menemukan sendiri koleksi atau informasi yang dibutuhkannya. Lain soal jika pemakai mengalami kesulitan di dalam mencari informasi yang dibutuhkannya. Maka di sini diperlukan intervensi pustakawan untuk membantunya. Dalam Bahasa Kulthau memediasinya. Menurut Kulthau ada lima tingkatan mediasi di perpustakaan yaitu: mediasi tingkat I disebut dengan penyelenggara/pengatur (organize), tingkat II disebut dengan pencari lokasi (locator), tingkat III disebut pengidentifikasi (identifier), tingkat IV disebut penasihat (advisor) dan tingkat V disebut konselor (councellor).

Mari kita bedah satu-satu. Tingkat I atau Penyelenggara (Organizer). Menurut Kulthau dalam tingkatan ini perpustakaan bertugas menyediakan bahan pustaka, artinya membeli atau mengadakan bahan pustaka diantaranya buku. Kemudian pustaka tersebut diatur dengan membuatkan katalognya dan mengklasifikasinya sampai menyusun koleksinya tersebut di rak. Begitu juga pustakawan menyediakan alat bantu untuk menelusuri buku tersebut melalui katalog. Pemakai yang memerlukan koleksi tersebut tinggal mencarinya melalui katalog dan mengambil koleksinya di rak koleksi. Dengan asumsi bahwa susunan koleksi benar dan susunan katalog benar maka pemakai tidak memerlukan bantuan pustakawan. Maka pada tingkatan ini tidak diperlukan intervensi pustakawan.

Pada tingkat II yang disebut penunjuk lokasi (locator) maka pustakawan bertindak  membantu memberi jawaban terhadap pertanyaan pengguna. Biasanya layanan seperti ini disebut layanan referensi. Pengguna perpustakaan akan menanyakan sesuatu yang jawabannya ada dalam sumber referensi. Pustakawan akan membantunya untuk mencarikan jawaban. Asumsi pada layanan ini adalah hanya ada satu jawaban yang benar. Pertanyaan seperti gunung apa yang merupakan gunung tertinggi di Indonesia, adalah contoh pertanyaan yang disampaikan kepada pustakawan yang jawabannya akan dicarikan oleh pustakawan dari koleksi referensi. 

Jika pertanyaannya tidak jelas maka mediasi pustakawan tidak dapat dikategorikan sebagai mediasi tingkat II. Bisa jadi mediasinya naik menjadi mediasi tingkat III yaitu pengidentifikasi (identifier). Mediasi di tingkat ini akan memerlukan komunikasi berupa wawancara antara pustakawan dengan pengguna perpustakaan sehingga apa yang ditanyakan menjadi jelas. Sesudah pertanyaan jelas maka pustakawan baru bisa membantu mencarikan jawabannya. 

Pernah terjadi di perpustakaan seorang dosen yang mencari sebuah buku yang membahas tentang ayam dengan warna kover kuning. Pertanyaan seperti ini perlu diskusi antara pustakawan dengan pengguna perpustakaan. Biasanya pustakawan akan mencarikan sejumlah buku/koleksi yang membahas tentang topik yang diminta dan pengguna akan memilihnya sesuai dengan yang diminatinya. Pustakawan tidak memerinci hasil pencariannya, misalnya berdasarkan tingkat relevansinya, tahun terbitnya dll. Pustakawan akan menyodorkan hasil temuannya untuk dipilih sendiri oleh pengguna perpustakaan. Mediasi level IV adalah Penasihat (Advisor). Pada level ini pustakawan tidak hanya mengidentifikasi sumber informasi yang menjadi temuannya, namun pustakawan juga merekomendasikannya berdasarkan urutan tingkat relevansi dari sumber informasi yang ditemukan, urutan penggunaannya misalnya dari yang umum ke spesifik, tingkat kedalaman sumber informasi yang diperolehnya dan memberi rekomendasi tentang cara menavigasi informasi berdasarkan urutan sumber informasinya. 

Untuk level mediasi ini pustakawan tidak hanya orang yang memiliki pengetahuan tentang sumber informasi di perpustakaan, namun juga harus tahu bagaimana dan kapan informasi tersebut digunakan. Penasihat juga harus memiliki pengetahuan tentang proses penelitian. Hanya dengan mengetahui dan memahami proses penelitian, pustakawan akan dapat mengetahui bagaimana menjelajahi lanskap informasi dan yang lebih penting bagaimana mengarahkan pengguna perpustakaan ke arah yang benar. Mediasi tingkat V atau mediasi tertinggi adalah konselor (councellor). Pada tingkat ini biasanya pustakawan dan pengguna perpustakaan akan berdiskusi dan memikirkan bersama-sama suatu penelitian dari sejak penulisan proposal. Bahkan sejak mencari topik yang akan menjadi penelitiannya. Pemakai perpustakaan belajar secara konstruktif proses pencarian informasi. Semua jawaban akan dibahas bersama antara pustakawan dan pengguna perpustakaan. Konselor membuat dialog dan mengharapkan pengguna untuk kembali secara berkala untuk membangun kembali dialog bersarkan konstruksi yang muncul.

Kalau melihat teori mediasi Kulthau, maka tingkat I dapat diotomasikan atau digantikan dengan komputer. Pustakawan menyediakan sumber dan alat aksesnya, pengguna mencari sendiri bahan perpustakaan yang disediakan. Tidak ada intervensi pustakawan. Jadi mediasi tingkat I bisa dinati sepenuhnya oleh komputer atau yang saat ini dikenal dengan perpustakaan digital. Koleksinyapun sudah digital. Mediasi tingkat II sebenarnya bisa juga dibuat digital. Perpustakaan menyediakan mesin kecerdasan buatan (Artificial Intellegence). Pertanyaannya adalah seberapa besar anggaran yang disediakan untuk menyediakan mesin tersebut. Mediasi tingkat III juga masih bisa dibantu dengan mesin, walaupun mungkin lebih sulit dibandingkan dengan mediasi tingkat II. Tetapi untuk mediasi tingkat IV dan apalagi tingkat V akan sangat sulit, untuk tidak mengatakan tidak mungkin,  untuk digantikan oleh mesin. Oleh karena itu menurut saya pustakawan harus berbenah diri untuk bisa mencapai pengetahuan yang bisa menjadi bekal dalam memediasi tingkat IV dan tngkat V. Peran pustakawan di masa depan adalah menyediakan mediasi tingkat IV dan tingkat V kepada para pengguna perpustakaan. Tanggung jawab untuk mencetak lulusan yang mampu menyediakan mediasi tersebut menurut saya ada pada lembaga pendidikan, khususnya jurusan ilmu perpustakaan. Ikatan Pustakawan Indonesia juga mempunyai tanggung jawab untuk mengawal pendidikan ke arah tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun