Mohon tunggu...
Abdul Muis Karim
Abdul Muis Karim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir di Makassar. Tinggal di Bekasi. Suka baca buku dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Tepi Sungai Chao Phraya, Aku Duduk dan Menangis

4 Desember 2017   00:19 Diperbarui: 5 Desember 2017   00:36 2985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (shutterstock)

Aku jujur saja. Aku meminjam karya Paulo Coelho untuk judul kisahku ini. Aku tidak tahu, apakah nelangsaku sama persis yang dialami wanita dalam kisah itu. Aku tidak tahu persis. Sekilas, aku hanya mengamati sebuah judul buku di rak toko, memandangnya dari jauh, kuamati siluet wanita teronggok di tepi sungai---Sungai Piedra, dan kusimpulkan aku sama persis dengan wanita itu. Ya, di sinilah aku, di tepi Sungai Chao Phraya, duduk dan menangis.

Aku tidak tahu persis apa yang dimaksud Marco waktu pertama kali dia berkata,"Jika keadaan mendesak, kau pergilah, cari dermaga-dermaga kecil tempat kapalku berlabuh. Tunggu aku disana."

"Tapi ada ratusan, bahkan mungkin ribuan pelabuhan di dunia ini, Marco. Kau pasti tidak sulit menyebutkannya beberapa yang bisa aku datangi jika hari itu tiba."balasku.

Marco lantas menatap mataku. Jika dia sudah begitu, hatiku bagai disulut tsunami asmara. Harus kuakui, dia sungguh ganteng. Seraya meremas kedua pundakku, dia berujar,"Basse, kapalku sering berlabu di Mahakam, Musi, dan sesekali ke Mekong dan Chao Phraya."

Aku tak pernah mengingat nama-nama tempat itu, selain karena aku tidak tahu harus mencarinya dimana, Marco selalu bilang "Setelah dari sana, saya pasti kembali ke tempat ini."

Dari Marco-lah aku belajar banyak istilah pelayaran. Dia bekerja sebagai kru kapal Ocean Diamond. Ketika kami menghabiskan sore di Pantai Losari, dia sering menceritakan pengalamannya di beberapa kapal sebelumnya: Michalakis, Blue Night, Fortune Sky. Ketika aku berguman,"Nama-nama itu mirip minuman keras atau mungkin merek kondom", dia hanya membalas,"Hidup di laut memang keras, dan ketika menyentuh daratan, kehidupan tidak kalah kerasnya. Jika bukan minuman keras yang menyambutku, pasti perempuan sundal." Lalu di semilir angin Selat Makassar yang rinai, dia menyanjungku,"Tapi kau berbeda, Basse. Kau tidak seperti kebanyakan gadis-gadis yang bekerja di Heaven."

Bar Heaven tempatku bekerja di Jl. Nusantara memang jaraknya hanya seludahan dari dermaga Makassar. Bahkan sakit dekatnya, seolah-olah ujung tangga kapal dapat tertambat di depan pintu Heaven. Jadi siapapun, termasuk Marco, yang bermaksud mencari angin setelah berminggu-minggu paru-parunya disesaki aroma ombak, ketika menyentuhkan kakinya ke daratan, berarti memasuki Heaven yang ruangannya sumpek bau Red Label.

Pekerjaanku di Heaven memang tidak seperti Vony, Della atau Caroline. Mereka itu perempuan bayaran. Aku bukan. Aku bahkan tidak diperbolehkan menuang minuman oleh Benny, Sang Mucikari. Benny beralasan,"Kamu mengurangi selera mabuk tamu."Jadi, pekerjaanku hanya-lah merapikan meja, atau membersihkan beling botol bir jika ada sepasang pemuda mabuk memperbutkan salah satu asuhan Benny---yang saking mabuknya, mereka tidak tahu jika Della itu waria, atau bahkan mengelap muntahan tamu. Di Heaven, muntah Marco bukanlah yang pertama kali aku lap, namun berkat muntah itu aku mengenal Marco. Dan dia juga mengenalku, atau mungkin menyanjungku.

Harus kuakui, sebagai gadis desa dari Selatan, parasku memang masih menyisakan bekas-bekas sengatan matahari yang kental. Bertahun-tahun membantu orang tuaku menjadi buruh tani garam, cukup memberikan sengatan gelap sampai ke darahku. Terlebih aku mengerjakan pekerjaan itu dengan semangat. Ayahku, Daeng Naba, berutang berlipat-lipat dari Haji Barani, Sang Mandor. Kala musim hujan yang amat singkat, buruh tani garam seperti kami sangat miris. Haji Barani-lah tulang pengharapan itu. Dan di sanalah kami mengutang berlapis-lapis. Di kala waktu senggang, aku dan ibuku kadang masih harus ke rumah Haji Barani, sekedar membantu-bantu agar diberikan kemurahan esok-esoknya, atau bahkan menjinjing lauk saat pulang. Perkara aku bisa kerja di Heaven, ceritanya sangat singkat. Seorang tukang becak yang saat itu pulang kampung memberi tahu untuk pekerjaan cuci piring di kota. Bagiku, jangankan rumah seukuran milik Haji Barani, piring seluas lautan pun bisa aku babat. Asalkan utang keluargaku tandas, dan kedua adikku---Nurhayati dan Junaedi---bisa jajan. Ya, jajan sampai perutnya buncit, atau bahkan meledak.

Aku tidak pernah mengenal urusan asmara dalam kehidupanku ini. Tepatnya, sebelum aku mengenal Marco. Di kampung, kami tidak hidup dengan kisah-kisah seperti di sinetron. Hidup yang benar adalah ada beras di rumah. Itu saja. Titik. Namun, pandanganku mulai berubah sejak suatu sore yang pekat, aku menggiring Marco menuju Pantai Losari mencari angin, tepat setelah aku merapikan muntahnya dengan mansetku. Saat itulah, setiap kali kapalnya sandar, dia menuju Heaven, dan pasti memberiku tip yang sangat besar. Saat Benny tahu perlakuan Marco ke aku yang istimewa, naluri dagangnya jalan: dia bermaksud "menjual"saya ke Marco, karena Vony---idola Heaven---benar-benar tidak bisa membuat Marco terangsang.

"Ifyou wanna go with her, pay me 200 dollar" kata Benny ke Marco. Setelah itu, Benny lantas mengancamku,"Pulanglah sebelum jam 10, ada banyak muntahan yang menunggumu." Marco selalu menyanggupi permintaan Benny untuk urusan tarif membawa pegawainya keluar Heaven.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun