Mohon tunggu...
abdul hadi
abdul hadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sekarang adalah mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Interpretasi Tema Oscar senat mahasiswa Fakultas Ushuluddin Dan Dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya." Tuhan Membusuk"

1 September 2014   09:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:56 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam Rangka OSCAAR 14 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya. Telah Banyak Mengundang reaksi panas dari berbagaii kelompok atau golongan. Sehigga tidak dapat disangka reaksi tersebut berbau negatif terhadap tema yang diangkat oleh panitia OSCAAR 14 Yaitu: “Tuhan Membusuk”. Padahal  jika kita telurusuri secara filosofis didalamnya terdapat makna positif yang berangkat dari realita sosial masyarakat beragama yang ada di nusantara. Dari sekian banyak masyarkat beragama kini sudah tidak lagi mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Contoh diantaranya seperti kedamian dan kesejahtraan sudah tidak lagi terrealisasi dalam tatanan sosial. Kalau kita mau mencoba untuk berfikir dalam menelaah tema tersebut tidaklah mengandung pelecehan penistaan dan juga promosi atheisme apalagi ala Nietzsche.
Karena “Tuhan” merupakan satu dari sekian banyak eskspresi puitis dari nilai tertinggi dalam epos kemanusian, walau kadang tidak sama dengan realitasnya. Menurut Ibn Arabi, Tuhan pada dirinya adalah “Tuhan yang tidak dapat diketahui, yang transenden, tidak terikat dengan atribut dan identitas apapun.  Maka dari itu, “Tuhan” bukanlah Tuhan sebenarnya, melainkan “Tuhan” yang menjadi Tuhan karena Ia dipercayai. Jika tuhan bersifat konsepsional, bukan Tuhan pada dirinya, atau Tuhan itu sendiri sebagaimana adanya atau nantinya dapat dikatakan tuhan konsepsional. Tuhan bukanlah sosok yang mudah diketahui, bukanlah sosok yang gampang diberikan atribut. Hingga dewasa ini pembahasan tuhan masih terus memuncak, karena pembahasannya memang mengacu pada sosok yang penuh akan Maha. Karen Amstrong menegaskan bahwa tuhan bukanlah citra, bukanlah indah, baik dll. Jika Tuhan telah diketahui identitasnya dengan semudah itu, tentunya dia masih bukan tuhan yang sebenarnya. Karena begitu mudah identitasnya dapat dijangkau.
Persoalan ketuhanan memanglah tidak akan pernah selesai, begitulah ungkapan Heidegger. Namun perlunya disini ada benang merah yang nantinya mengarah pada orang-orang yang meyakini akan keberadaannya. Dimana agama sebagai jembatan untuk menuju pada Tuhan. Dan juga, banayakya problem yang terjadi dewasa ini yaitu polemik atau pergolakan dikalangan penganut agama itu sendiri yakni pembelaan mati-matian atas tuhan telah banyak menumpahkan darah. Apakah benar ajaran (Tuhan) agama seperti ini, bukankah kedamaian adalah nilai luhur agama? Akan tetapi apa yang terjadi, agama yang dipahami oleh manusia dan kelompok-kelompok ekstrim telah membawa agama sebagai bahan yang akan menghilangka sikap beradab pada seluruh manusia. Sehingga tak salah jika ada kekerasan adalah ulah agama. Membuat agama nantinya akan dipandang sebelah mata.
Agama kembali mendapat perhatian dengan gerak laju zaman dan arus modernitas. Kerena agama sekian hari dipandang mempersempit gerak bebas manusia dan juga terjadinya perang yang mengatasnamakan agama. Sehingga perspektif orang-orang modern terhadap agama tak lain adalah agama mengandung banyak nilai negatif. Tidakkah kita lihat bendera berkibar dengan bertuliskan “demi tuhan”, mereka rela mempertaruhkan nyawanya.
Kini, ketika masyarakat modern berada dalam tahapan baru yang menempatkan spiritualitas sebagai alternatif pemecahan berbagai masalah modern. Tipologi masyarakat modern adalah ketika mereka masuk kedalam semangat keberagamaan baru bertitik tolak pada pertimbangan matematis, untung rugi. Mereka memasuki semangat keberagamaan apabila memang benar-benar dirasakan memberi manfaat, mampu memuaskan dahaga spiritual yang tidak mereka dapatkan dilingkungan mereka yang rasional. Selain itu, ternyata masyarakat yang dikatakan modern masih membutuhkan agama sebagai alat pemuas atau jawaban dari berbagai persoalan-persoalan. Namun ketika semuanya terjawab, mereka mengejawantahkan agama tersebut. Lupa akan tangisnya.
Dialektika agama dengan kondisi sosial yang dialami manusia dewasa ini mulai memudar. Pandangan sebelah mata terhadap agama yang disebabkan oleh gerak laju zaman tuntutan hidup, dimana uang telah menjadi tuhan baru. Juga tak dapat disangkal akan adanya agama revolusi yang selalu dijunjung tinggi akan lahirnya keamanan dan kemakmuran. Kesejahteraan dan kedamaian yang merupakan nilai luhur agama sudah tidak lagi tertanam dalam diri manusia. Sehingga berbagai perintah tuhan mulai dihindari, seakan-akan sudah mau membusuk. Realita sosial telah menampakkan sisi keburukannya, ketidak seimbangan sosial mulai dirasakan, dimana pada mulanya manusia menganggap bahwa dengan hidup bebas semuanya akan tentram. Begitu juga sikap manusia yang mulai terarah pada pragmatis yang akhirnya menuju pada sikap hedonis. Materi merupakan hal yang paling signifikan. Namun tak jarang juga ditemukan agama dijadikan sebagai alat pemuas atas kegelisahan yang menimpa. Kini agama sudah dapat dikatakan berada ditengah bencana. Bencana yang dilanda manusia. Contoh yang sangat mendasar sekali yaitu ketika musibah datang, dengan reflek manusia ingat tuhan. Tiba-tiba seluruh persepsi dan pemikiran mengacu pada semangat ketuhanan. Dan juga, ada sikap positif dari manusia akan adanya bencana, bahwa tuhan sedang manguji. toh walaupun positif, disini peran tuhan mengarah pada simbol ketakberdayaan. Dalam ranah sosial dapat kita temukan, kekecewaan manusia terhadap tuhan atas ketidak adilannya yakni tak sedikit kita dengar “mengapa aku terlahir menjadi orang miskin”. Kiranya ini merupakan kritik pedas terhadap tuhan. Tuhan tetap berada dipojok kesalahan.
Realita sosial yang menampakkan diri, menimbulkan pertanyaan besar, apakah agama merupakan kebutuhan inhern manusia atau sekedar jalan buntu yang ditempuh ketika akal pikiran tidak mampu menjawab persoalan? Karl Marx salah satu dari tokoh materialis memilih jawaban yang kedua (Miqdat Husain:27). Benar kiranya Marx jika memilih jawaban yang kedua dan walaupun dikontekskan pada kondisi saat ini, agama hanya dijadikan sebagai alat pemuas atau candu. Disinilah nilai agama yang salah diinterpretasi oleh manusia. Ali Syariati menegaskan bahwa agama haruslah dijadikan sebagai pembakar semangat, agar agama tidak hanya dipandang sebagai pendekatan diri dengan tuhan dan sekedar ajaran moral saja.
Disisi lain yang tak dapat ditepis akan runtuhnya nilai agama yakni munculnya garis keras dalam agama seperti fundamentalisme, radikalisme dan paham-paham garis keras lainnya. Al-Asymawi menegaskan bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat  Kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrim dan radikal dalam berpikir dan bertindak. Hingga komunitas Islam yang berkarakter seperti itu kena imbas disebut fundamentalis, dan istilah fundamentalis islampun muncul (M. Said Al-Asymawi:129). Contoh besarnya yang terjadi dalam Islam, diamana Islam yang semula merupakan kepercayaan yang openminded, inklusif mengalami pergeseran yang desasif, dari lapangan teologikal tradisional pada lapangan sosiologis yang memformulasikan Islam kedalam norma-norma dan nilai-nilai tatanan sosio-politik. Karena sifatnya yang ideologis, Islam akhirnya dipahami sebagai kepercayaan tentang legitimasi yang terdiri dari interpretasi-interpretasi teks-teks keagamaan untuk dimanfaatkan dalam ranah sosial politik.
Sikap-sikap kelompok seperti inilah yang nantinya menjadikan Islam sempit, islam yang tidak mempunyai nilai yang unversal. Ketika Islam sudah mengalami nilai yang sempit, otomatis darah-darah mulai berceceran. Tidakkah kta lihat konflik yang terjadi dimaluku, ditimur tengah yang pada akhirnya menunjukkan logika gelap atas agama yang justru menurunkan atau memurukkan level peradaban manusia. Sehingga corak atau motif perang yang paling mengerikan adalah perang atas nama Tuhan. Karena setiap orang memiliki “sesuatu yang paling berharga, paling kudus”, yang deminya dia siap menjadi martir.
Sekali lagi dapat ditegaskan, bahwa runtuhnya nilai agama yang nantinya mengarah pada “(nilai) tuhan (akan) membusuk” tak dapat ditepis sudah. Realitas akan terjadinya kebusukan pada tuhan (nilai) karena agama sudah menjadi bencana hingga pada nantinya akan terjadi kebusukan yang benar-benar busuk pada tuhan. Karena kesalahan interpretasi nilai agama yang banyak menelan banyak korban yang pada akhirnya agama akan ditinggalkan. Maka, perlunya disini ada rekonstruksi pada pemahaman kaum-kaum pemuja teks tersebut. Agar dialektika agama dengan kondisi sosial (arus modernitas dan budaya) dapat berjalan denga damai dan sejahtera sesuai dengan nilai luhur yang ada dalam agama Islam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun