Mohon tunggu...
Abdul Ghofur 20200110300014
Abdul Ghofur 20200110300014 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Prodi Ilmu Politik

Don't forget keep smile always

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Birokrasi Menuju Netralitas

23 April 2022   11:59 Diperbarui: 23 April 2022   12:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tuntutan melakukan reformasi birokrasi memang kurang mengemuka kalau dibandingkan dengan tuntutan mengenai reformasi politik. Hal ini demikian tidak lepas dari pandangan banyak pelaku gerakan reformasi sendiri bahwa ketika gerbong reformasi politik dilakukan, langkah seperti ini akan berfungsi sebagai penarik gerbong-gerbong reformasi lain termasuk birokrasi. Reformasi birokrasi, dengan demikian, dilihat sebagai kelanjutan atau sesuatu yang tidak terelakkan ketika reformasi politik telah dilakukan.

Pandangan bahwa birokrasi itu harus netral secara politik sebenarnya sudah bergema kuat ketika orde baru mulai mengendalikan pemerintahan. Para penguasa orde baru berpikiran, agar birokrasi bisa bekerja lebih baik, lembaga ini harus dihindarkan dari dukungan sebagaimana terjadi pada pemerintah sebelumnya. Hanya saja kebijakan yang dibuat oleh pemerintah orde baru itu pada kenyataannya bertolak belakang dengan keinginan untuk membawa birokrasi ke dalam wilayah politik yang netral.

Reformasi birokrasi pada akhirnya dipandang sebagai bagian dari reformasi secara keseluruhan di dalam negara Indonesia pasca pemerintah Soeharto. Secara umum, keinginan untuk membawa birokrasi netral secara politik, dimaksudkan untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terhadap birokrasi. Paling tidak, ada tiga hal menghawatirkan ketika birokrasi itu terlibat di dalam politik.

Pertama memunculkan intervensi politik di dalam penempatan jabatan-jabatan di dalam birokrasi. Dalam pandangan ini bahwa birokrasi itu harus netral, penempatan atau promosi dalam jabatan-jabatan itu harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan prestasi, terlepas dari hubungan-hubungan pribadi. Masuknya intervensi politik bisa merusak proses rekrutmen seperti ini karena penempatan atau promosi di dalam jabatan-jabatan politik yang menempatkan dengan para birokrat itu.

Kedua, ketika birokra berpolitik, dikhawatirkan adanya penyalahgunaan atas sumber-sumber keuangan dan fasilitas-fasilitas publik yang dimiliki oleh birokrat. Dalam hal ini sebagai lembaga publik, birokrasi memiliki berbagai fasilitas dan sumber-sumber lainnya. Manakala birokrat terlibat politik, terdapat kekhawatiran adanya penyalahgunaan terhadap otoritas yang dimilikinya itu. Misalnya, birokrasi bisa terlihat pada adanya alokasi dan distribusi sumber-sumber yang ada didalam birokrasi kepada partai politik yang menjadi afiliasi politiknya.

Ketiga, keterlibatan birokrasi di dalam politik juga dikhawatirkan membuat terjadinya pemihakan-pemihakan kepada kelompok tertentu, yaitu kelompok-kelompok yang sealiran politik dengan birokrat itu. Dalam hal ini tidak lepas dari fakta bahwa birokrasi itu memiliki otoritas dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber-sumber yang dimilikinya. Apabila hal ini terjadi, bisa mereduksi posisi birokrasi sebagai lembaga publik menjadi lembaga yang lebih menguntungkan sebagian kelompok masyarakat saja.

Dalam upaya pertama tertentu itu sudah membawa hasil yang cukup berarti. Apa yang terjadi pada pemilu 199 dan 2004, paling tidak, bisa dijadikan ukuran. Dalam dua kali pemilu ini, fenomena pelibatan dan penggalangan dukungan politik melalui birokrasi sangat minim, sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru. Meskipun demikian, upaya untuk melakukan politisasi birokrasi ternyata masih tidak bisa dihindarkan.
Pertama, hal ini berkaitan dengan sifat dasar birokrasi yang tidak lepas dari kepentingan, upaya ini bertujuan memperjuangkan kepentingan sendiri. Dengan demikian, birokrasi tidak bisa semata-mata bertindak untuk memberikan pelayanan publik.
Kedua, hal itu pasti berkaitan dari pejabat publik yang terpilih. Yang kedua ini berkaitan dengan karir pegawai negeri yang tidak bisa dilepaskan dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat itu, kemudian upaya untuk mewujudkan agenda (kepentingan) dari pejabat politik tersebut.

Sementara itu, upaya untuk melakukan pelayanan publik juga terus dilakukan. Pada dasarnya adalah melalui kebijakan desentralisasi. Melalui kebijakan itu, selain terdapat transfer sebagian besar urusan pemerintahan ke daerah, juga terdapat transfer besar-besaran pegawai negeri. Kebijakan ini demikian telah memunculkan kreativitas daerah dalam memberikan pelayanan publik. Seperti adanya lembaga didalam pengurusan perizinan. Tetapi secara umum, kebijakan desentralisasi masih belum mampu menguatnya pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi.

Reformasi birokrasi di Indonesia, dengan demikian, masih membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menyelesaikan. Seperti hal nya untuk memiliki birokrasi yang profesional dan mampu memberikan pelayanan publik yang lebih baik, kerena itu, tidak mungkin direalisasi dalam waktu cepat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun