Ada posisi-posisi yang kurang cocok bila dibingkai dengan dalil tertentu. Saya mencoba menyodorkan kasus yang familiar.
Posisi orang yang menasihati
Posisi orang yang dinasihati
Posisi Sebagai Orang Yang Menasihati
Sebagai orang yang berposisi sedang dinasihati, saya menggunakan dalil:
'Lihatlah pembicaraannya (isi nasihatnya), jangan lihat sosok yang berbicara' (sosok yang menasihati)'.
Siapa pun sosoknya, saya berusaha menerima nasihat itu, selama baik dalam konteks syariat.
Posisi Sebagai Orang yang Dinasihati
Sebagai orang yang berposisi sedang menasihati, saya menggunakan dalil:
'Perbaiki dirimu, niscaya orang akan baik kepadamu'.
Atau kalau memang terlanjur dipaksa untuk memberi nasihat, paling tidak, saya menggunakan dalil:
'Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik'.
Garis bawahi di bagian hikmah dan pengajaran yang baik. Itu posisi dengan bingkai dalil yang ideal, menurut saya. Dan itu paham yang saya pegang berdasarkan hasil pembelajaran saya.
Sekarang, saya mencoba menukar posisi dalil itu.
Saat berada di posisi orang yang dinasihati, lalu menggunakan dalil:
'Perbaiki dirimu, niscaya orang lain akan baik kepadamu', dengan tujuan untuk mengkritik si pemberi nasihat.
Secara tidak langsung, itu malah membentuk sikap mangkel, sikap menolak nasihat, dengan dalih si pemberi nasihat tidak layak menasihatinya. Berbahaya.
Saat berada di posisi orang yang terpaksa menasihati, lalu menggunakan dalil:
'Lihatlah pembicaraannya (nasihatnya), jangan melihat sosok yang berbicara (sosok yang memberi nasihat)', dengan tujuan merendahkan si penerima nasihat, menganggapnya bodoh, misalnya.
Secara tidak langsung, itu malah membentuk sikap tinggi hati. Merasa berhak untuk menasihati tanpa melihat diri sendiri dengan dalih, cukup lihat isi nasihatnya.
Tulisan ini saya akhiri dengan sebait adagium:
Dalil itu seperti obat. Sangat disayangkan, bila sampai salah diagnosis, apalagi overdosis.