Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Antara Pelabuhan Lumbung Ekonomi Nasional dan Pemungut Beras

10 Oktober 2016   15:19 Diperbarui: 10 Oktober 2016   16:16 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelabuhan lama Tanjung Perak memang menyimpan berbagai cerita, mulai kebahagiaan bagi para investor, pengusaha, dan pemilik modal yang terus mengakumulasi modalnya. Pelabuhan lama ini telah menjadi mata rantai perkembangan ekonomi yang ada di Indonesia, lebih tepatnya di Jawa Timur. Banyak yang menyebutnya sebagai “Hiterland” karena lokasinya yang alamiah sangat menguntungkan bagi suatu pelabuhan dengan perairan yang cukup tenang dan terlindungi.

Tapi apakah hanya ada kebahagiaan di sana? Tidak! Karena di sana menyimpan cerita kelam yang sangat miris untuk kita lihat. Banyak kapal yang melakukan bongkar-muat di sana, tidak terkecuali kapal yang membawa beras. Bongkar-muat yang terjadi menyimpan cerita kelam, cerita tentang ibu-ibu yang memungut beras sisa kiriman kapal barang di Tanjung Perak.

Dengan sapu korek, dan tas seadanya ibu-ibu itu dengan gigih menyapu sisa-sisa beras hasil bongkar-muat untuk dibersihkan dan jika laku akan dijual kembali. Jika tidak, akan dikonsumsi untuk keluarganya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sungguh ironis fakta yang ada di Pelabuhan Tanjung Perak. Seharusnya dengan keberadaan pelabuhan tersebut, masyarakat di sana mendapatkan pekerjaan dan hasil yang layak, tapi kenyataanya hadirnya pelabuhan yang juga menjadi lumbung ekonomi nasional tidak mampu menjawab persoalan ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Para ibu-ibu harus memungut bahan makanan (beras) yang banyak dipandang orang lain sebagai kotoran atau sampah serta barang yang tidak layak digunakan. Mereka (ibu-ibu) dengan jelas melihat jarak kesenjangan yang begitu jauh antara kokohnya pelabuhan dengan beras yang harus mereka pungut.

Canda dan tawa bagi mereka hanya tinggal kenangan manis. Mereka harus bergulat dengan pertarungan hidup yang sungguh tidak adil saat tuntutan ekonomi menjadi perkara hidup atau mati. “Tidak tahu sampai kapan sebagai penyapu beras, karena anak-anak dan suami harus tetap hidup,” kata seorang ibu-ibu pemungut beras.

Sungguh dermawan mereka…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun