"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai." Diucapkan Magda Peters, guru Minke pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.Â
Pesan yang lugas dan sangat jelas. Berotak pintar, memiliki pengetahuan segudang bahkan gelar berjajar tak cukup tanpa mengenal dan mencintai sastra.Â
Kita tahu, bahwa sastra telah melompati waktu. Berbagai zaman telah ia lewati. Sastra merupakan karya yang akan abadi, tak terhempas oleh apapun.
Berdasarkan pengalaman saya, dulu saat masih duduk di bangku sekolah sedikit sekali teman, keluarga, sahabat, yang benar-benar tertarik dengan sastra.Â
Pada saat telah selesai, masuk lingkungan baru pun juga sama. Mungkin kurangnya ketertarikan terhadap sastra adalah konsekuensi logis dari rendahnya kebiasaan membaca. Ternyata situasi telah berubah.
Organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) telah melakukan penelitian pada tahun 2016 lalu. Hasil penelitiaan terhadap 61 negara di dunia mengatakan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah.Â
Studi yang dipublikasikan dengan judul "The World's Most Literate Nations", telah menunjukan pada kita semua bahwa Indonesia berada di peringkat ke-60. Mungkin ini sangat miris, karena Indonesia hanya satu tingkat di atas Botswana.
Saya tidak akan membahas penyebab rendahnya kebiasaan membaca. Tapi, ada hal yang wajib kita tahu bahwa karya sastra selalu menjadi saksi dalam sejarah peradaban manusia. Karya sastra mulai dari perdaban kuno, seperti Mesir dan Cina. Bahkan satra telah melewati sejarah yang cukup panjang.
Beberapa sastra Barat yang umumnya terkenal, seperti Paulo Coelho, Tolstoy, Shakespere, Gabriel Marcia Marquez, dan lainnya.Â