Mohon tunggu...
Abdul Chalik
Abdul Chalik Mohon Tunggu... -

Abdul Chalik adalah peneliti dan staf pengajar Fisip, Ushuluddin dan Filsafat dan Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Keahlian di bidang 'Politik Islam Kontemporer', 'Politik dan Pemerintahan Lokal', "Ideologi dan Politik" dan "community engagement". Sudah menulis 13 buku, 42 artikel jurnal yang diterbitkan secara nasional dan internasional, dan 38 penelitian. Pendiri dan Direktur The Sunan Giri Foundation (Sagaf) yang bergerak di bidang riset, pemberdayaan di bidang pelayanan publik. The Sunan Giri Award merupakan salah satu program utama di bidang pelayanan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam, Politik dan Tantangan Demokrasi Agama

13 Januari 2018   14:04 Diperbarui: 13 Januari 2018   14:54 1757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

          Kemunculan renaesance dan humanisme di Eropa merupakan puncak dari kemenangan ilmuwan liberal dalam memisahkan agama dan negara. Renaesance dan humanisme  bukan sekedar menjadi kemenangan supremasi ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus memisahkan pertautan antara agama dan negara. Praktik agama dalam Negara lebih bersifat artificial, bahkan pada bagian lain sama sekali tidak berhubungan.

          Renaesance dan humanisme merupakan era kebangkitan supremasi ilmu pengetahuan. Pada era ini sekaligus mempertegas bahwa manusia merupakan segala-galanya. Kemampuan akal manusia dapat menjangkau semua kebenaran di muka bumi.

Penghargaan yang luar biasa atas supremasi manusia masuk pada ranah demokrasi. Manusia dapat melahirkan kebenaran. Apapun bentuknya, yang dilakukan oleh suara mayoritas merupakan kebenaran. Sebaliknya, suara minoritas menjadi lemah dan tidak diakui kebenarannya---meskipun dari perspektif lain dianggap benar.

Dalam konteks ini, suara mayoritas (suara rakyat) menjadi penentu kebenaran. Munculnya "kedaulatan rakyat" dalam demokrasi merupakan penghargaan yang berlebihan atas supremasi akal itu---yang sangat melekat dalam kehidupan manusia. Kedaultan rakyat berarti rakyat (manusia) berdaulat, rakyat  berkuasa dan rakyat yang menentukan segalanya.

Dalam demokrasi kedaulatan akan menjadi lebih kuat jika didukung oleh mayoritas. Mayoritas dan minoritas menjadi inti dalam demokrasi. Yang kecil (minor) harus ikut yang besar (mayor), yang kalah harus ikut yang menang, yang minor tersubordinasikan oleh yang mayor. Kata "musyawarah" adalah kalimat pemanis dalam demokrasi. Kata ini digunakan untuk mengurangi nilai negatif demokrasi yang sesungguhnya pertarungan mayoritas-minoritas dan kuat-lemah. Musyawarah akan menjadi bagian dalam demokrasi dengan mengharuskan yang lemah harus mengikuti jalan pikiran yang kuat.

Sebagai lawan dari kedaulatan manusia adalah kedaulatan Tuhan. Tuhan yang menjadi referensi akhir dalam pengambilan keputusan.

Dalam bahasa yang ekstrim, semua keputusan harus menyesuaikan dengan pandangan Tuhan. Tidak ada kebenaran yang mutlak kecuali kebenaran yang didasari oleh argumen teologis Tuhan. Dalam konteks ini, suara mayoritas tidak memiliki arti apa-apa apabila dihadapkan dengan kedaulatan Tuhan. Kecuali kedaulatan manusia tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Tuhan.

Islam sebagai agama dan al-Qur'an sebagai sumber utama ajaran sangat menjunjung kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang merupakan inti dari ajaran demokrasi pada banyak kasus memiliki spirit yang sama dengan Islam. Islam menjunjung tinggi kebebasan, persamaan dan keadilan---sebagaimana dalam demokrasi selalu didengung-dengungkan. Namun demikian pada tataran praktis perlu memperoleh perhatian dan porsi pembeda.

Spirit Islam tidak memiliki perbedaan dengan demokrasi. Namun pada tataran praktis ajaran tidak semua ajaran demokrasi dapat dipraktikkan dalam Islam. Misalnya tentang ajaran persamaan (al-musawa). Dalam Islam tidak dapat diperlakukan yang sama antara muslim dengan non-muslim. Islam tidak mengajarkan kebebasan nikah antar agama. Ada batas-batas tertentu antara laki-laki dan perempuan dalam praktik ritual dan sosial. Karenanya Islam memegang teguh teguh prinsip persamaan, kebebasan dan keadilan sebagaimana dalam ajaran demokrasi namun harus mempertimbangkan qodrat dan asasi.

Tentang hubungan Islam dan demokrasi telah menjadi perhatian luas Pemikir muslim seperi al-Maududi, Muhammad Iqbal, Mahmud Thoha dll. Pada prinsipnya tidak semua ajaran demokrasi relevan dengan ajaran Islam. Konsep theo-democracy, demokrasi yang religious menjadi salah satu alternatif dalam menjambatani pandangan di atas. Demokrasi yang didasrkan pada nilai-nilai keagamaan. Pemikir Barat seperti John L. Esposito, Huntington, dan pemikir yang lain berpandangan yang sama.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun