Mohon tunggu...
Abdul Chalik
Abdul Chalik Mohon Tunggu... -

Abdul Chalik adalah peneliti dan staf pengajar Fisip, Ushuluddin dan Filsafat dan Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Keahlian di bidang 'Politik Islam Kontemporer', 'Politik dan Pemerintahan Lokal', "Ideologi dan Politik" dan "community engagement". Sudah menulis 13 buku, 42 artikel jurnal yang diterbitkan secara nasional dan internasional, dan 38 penelitian. Pendiri dan Direktur The Sunan Giri Foundation (Sagaf) yang bergerak di bidang riset, pemberdayaan di bidang pelayanan publik. The Sunan Giri Award merupakan salah satu program utama di bidang pelayanan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

ISIS dan Kita

3 November 2017   08:58 Diperbarui: 3 November 2017   09:13 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua hari lalu, New York dikejutkan oleh serangan truk terhadap pejalan kaki. Beberapa minggu dan bulan sebelumnya, kasus serupa ataupun dalam bentuk bom mobil meledak di beberapa negara Eropa. Lagi-lagi ISIS yang menjadi kelompok tertuduh---dan bahkan secara organisasi diakui sebagai bagian dari aksinya.

Dulu---hingga saat ini---publik mengenal al-Qaedah, sebuah organisasi yang dicap teroris dan paling kejam di dunia. Pengaruh organ ini hampir menyeluruh, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Organ lain yang hampir sama---bahkan dianggap sayap al-Qaedah juga berdiri di beberapa negara, seperti al-Sabab, Boko Haram dan Jamaah Islamiyah. Namun demikian, perhatian publik tidak seserius saat ini. Al-Qaedah dan organ yang serupa tidak sekejam dan seradikal ISIS. Al-Qaedah masih 'agak santun'---begitu kira-kira sebutan anak pesantren dibandingkan dengan ISIS. Cara dan praktik gerakannya tidak seganas ISIS.

Sama seperti al-Qaedah, ISIS juga bercita-cita mendirikan sebuah negara yang berpusat di Irak dan Syiria dan sepenuhnya berideologi Islam. Mereka berkeinginan menjadikan al-Qur'an dan Hadis sebagai dasar dan pondasi dalam menjalankan praktik kenegaraan. Sebagaimana dalam cita-cita awal model gerakan semacam ini, mereka meyakini dan mempedomani bahwa al-Islam yakni al-din wa al-daulah (bahwa Islam sesungguhnya mengatur dan mewajibkan praktik agama dan negara). Islam kaffah dalam pandangan mereka adalah Islam yang secara langsung ikut mengatur urusan dunia secara total. Islam salih likulli zaman wa makan dipahami bahwa Islam ideologi yang dapat diterima oleh siapapun.

Berpijak pada cara pandang yang demikian itu, maka ISIS berdiri dan berjuang hingga kini. Organisasi serupa seperti al-Qaedah dan sejenisnya juga berpandangan sama. Mereka juga menolak modernisme, demokrasi, hak asasi manusia, nasionalisme dan paham kenegaraan yang tidak sehaluan dengannya. Terutama terhadap paham yang bersumber dari Barat, mereka menolaknya secara mentah-mentah. Pendek kata, pandangan yang tidak sesuai dengan Islam harus ditolak, dilawan dan diperangi.

Persoalannya, kalau mereka mengatasnamakan Islam, lalu Islam yang seperti apa? Secara akademik bermula dari gerakan kembali kepada ajaran al-Qur'an dan Hadith secara murni, dan menolak atas tafsir keagamaan yang sumbernya berasal dari luar dua dasar dimaksud. Gampangnya, al-Qur'an dan Hadith harus ditafsiri dengan al-Qur'an dan hadith, bukan dengan dasar yang lain, sebagaimana para fuqaha', ulama, salafus salih mempraktikkan  tafisr keagamaan dalam kitab-kitab fikih. Paham tersebut dalam sejarah dikenal dengan sebutan "kembali pada ajaran al-Qur'an dan Sunnah", "gerakan pemurnian Islam", "gerakan purifikasi". Dalam bahasa yang keren  dikenal dengan sebutan fundamentalisme, aliran kembali pada ajaran dasar.

Dalam praktiknya, gerakan tersebut tidak secara massif diterima oleh setiap muslim. Organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, kelompok-kelompok kajian yang mereka bentuk tidak serta merta dapat merubah keadaan. Perubahan yang bersifat segmented. Hanya kalangan tertentu, terutama kelompok menengah, kaum terdidik dan terpelajar yang dapat mengakses  informasi dan memahami persoalan dimaksud. Sementara kaum awam kebanyakan tidaklah demikian. Mereka tetap berada pada kungkungan ajaran yang penuh khurafat dan takhayyul. Begitu kira-kira mereka berpandangan.

Karena secara massif melalui jalur pendidikan dan khalaqah tidak berhasil, maka dimulailah dengan jalur politik. Politik dapat merubah keadaan dan dapat merubah kebijakan negara. Mereka yang sepaham kemudian menghimpun diri menjadi kekuatan politik. Pada pertengahan abad 20, muncullah Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizb al-Tahrir di Yordania , gerakan Wahabi di Saudi, al-Qaedah di Afghanistan, dan beberapa organ di belahan dunia muslim.  Mereka berdiri untuk memperjuangakan ideologi Islam berdasar versi mereka.

Dalam sejarah, kelompok fundamentalis masuk dalam ruang negara dan beberapa diantaranya menguasai parlemen. Taliban di Afganistan menjadi penguasa, dan Ikhwanul Muslim di Mesir pernah memenangkan Pemilu. Bukan sekedar di situ,  melalui jaringan internasional mereka membentuk perwakilan, dan mengembangkan sayap di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Terutama melalui jaringan alumni yang pernah belajar di Mesir, Mekkah, Madinah, Syiria, Yaman, Yordania hingga Turki. Dari merekalah, komunikasi dan kaderisasi terbentuk.

Kelompok seperti ini tidak berhenti secara politik, namun melakukan gerakan dan perlawanan senjata. Ketika akses mulai terbentuk dan kemampuan untuk mengorganisir diri sudah mulai mapan, maka selanjutnya melakukan gerakan perlawanan dengan senjata. Prinsipnya sama, apabila mengajak dengan cara damai tidak diindahkan maka dilakukan dengan cara pemaksaan. Jika dipaksa masih belum berhasil, maka harus dilakukan cara-cara kekerasan. Dari sinilah apa yang disebut dengan istilah "radikalisme" itu muncul. Radikalisme berarti babat habis sampai akar-akarnya dengan cara tindakan kekerasan untuk membasmi yang melawan atau yang tidak mau diperintah.

ISIS hadir ketika cara-cara lama yang dilakukan oleh pendahulunya seperti Ikhwanul Muslimin, Hizb al-Tahrir, al-Qaedah dianggap terlalu kompromi, terlalu lunak dan banyak menguras energi dalam negosiasi. ISIS lahir ketika rasa jenuh muncul, karena apa yang diperjuangkan oleh pendahulunya tak kunjung berhasil. Maka tidak ada pilihan, harus melakukan cara lain yang lebih keras dan ekstrim untuk memberikan pelajaran bagi yang lain, terutama sesama muslim yang tidak mengindahkan ajakannya.

Secara ideologis, paham yang menyerupai ISIS banyak bertebaran di mana-mana. Di Indonesia, paham yang menyerupai pandangannya secara terbuka muncul di berbagai tempat. Namun mereka tidak sampai pada gerakan politik dengan angkat senjata, namun dalam bentuk kelompok-kelompok keagamaan, khalaqah dan sebaran informasi lewat internet, bulletin, majalah dan buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun