Mohon tunggu...
Abdul Mufahir
Abdul Mufahir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teknologi Informasi Menjadi Ancaman dan Tantangan Dunia Pendidikan

23 Mei 2018   00:32 Diperbarui: 23 Mei 2018   01:07 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena merebaknya infomasi yang tidak berdasar atau biasa disebut hoax serta ujaran kebencian ini menjadi perhatian khusus dunia pendidikan. Fenomena tersebut berlawanan arus dengan tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Dunia pendidikan harus responsif menghadapi informasi hoax  dan hatespeech, karena hal tersebut menyangkut akhlak, moral, kreativitas, serta demokratis, dan tanggung jawab. Penyalahgunaan teknologi informasi nyaris menyerang semua sendi tujuan pendidikan nasional. Anak-anak kita terancam arus negatif dari era demokasi digital yang telah menyimpang dari koridornya. Kebebasan ekspresi yang "didewakan" malah gagal memberikan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat, malah kemudian yang terjadi adalah perang kebencian, dan penyebarluasan kebohongan.

Kemajuan teknologi informasi di satu sisi memberikan akses cepat dalam menyerap setiap persoalan. Namun, di sisi lain memberi akses luas bagi pergeseran nilai di masyarakat. Media sosial adalah boomerang dan ancaman kehidupan sosial, karena orang dengan mudah bersosialisasi cukup dengan akses internet dan di ruang media sosial. 

Gejala individualistik-narsistik ini akhirnya menggerus nilai gotong-royong di tengah masyarakat. Kita sulit menemukan kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan elemen manusia yang berkumpul bersama. Sialnya adalah rasa saling tolong-menolong juga mulai terdegradasi, misalnya ketika terjadi suatu peristiwa kecelakaan, karakter manusia era digital ini lebih memilih untuk cepat menginfomasikan, dengan mendokumentasikan kejadiaan dengan ekspresi andalannya yaitu swafoto (selfie). 

Jika dicermati lebih jauh, orang lebih memilih mendahulukan menginfomasikan peristiwa daripada menolong dan membantu koban peristiwa. Dengan kata lain cepat menyerap informasi, tapi lambat tanggap dan aksi sosial. Hal ini menjadi "suara sumbang" dari kemajuan teknologi informasi.

Penyebaran informasi hoax dan hatespeech memberikaan kontribusi bagi perkembangan radikalisme di tengah masyarakat. Kurangnya pertahanan pendidikan mengakibatkan hilangnya moral dan daya kritis masyarakat. Tantangan pendidikan kita tidak lagi pada komersialisasi pendidikan seperti era 90-an hingga 2000-an, akan tetapi kini tantangan pendidikan kita lebih substantif, yaitu kehilangan moral dan daya kritis. 

Keduanya berkontribusi pada perkembangan radikalisme yang mengancam kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan negara. Informasi hoax yang tersebar luas adalah gejala hilangnya daya kritis dan budaya literasi kita. Sebagian orang lebih memilih cara-cara instan untuk mendapatkan informasi dan ilmu, salah satu medianya adalah memanfaatkkan teknologi informasi (internet). Budaya literasi mulai banyak ditinggalkan, buku-buku bacaan dianggap tidak praktis untuk mengakses pengetahuan. Tindakan ini adalah bentuk "gagal paham" dari pemanfaatan teknologi.

Teknologi infomasi memang hampir mengubah segalanya dari sisi kehidupan kita. Internet menjadi guru banyak pihak dalam mengakses pengetahuan. Begitu juga dengan belajar agama, banyak pihak yang tidak lagi membutuhkan guru dalam memahami ajaran agama. Cukup mengakses internet, hasrat pengetahuan agamanya sudah terpenuhi. Hal ini yang kemudian mendegradasi akhlak dan keilmuan yang utuh dari seorang guru yang biasa disebut hidden curriculum. 

Pada akhirnya metode "serampangan" dalam mengakses ilmu pengetahuan ini menjadi jalan baru yang disebut epistemologi selfisme. Selain itu, fenomena hatespeech adalah gejala moral yang diakibatkan dari kenarsisan seolah paling benar dan yang lain salah. Pada konteks benar-salah masih dalam keadaan wajar. 

Namun, ketika sudah masuk tindakan kekerasan verbal seperti umpatan bagi pihak yang dianggap salah atas kebenaran dirinya itu menjadi masalah moral yang kusut di negeri ini. Istilah "sumbu pendek" cukup mendapatkan panggungnya di tengah masyarakat yang terjebak pada arus keilmuan yang didapatkan secara instan melaui internet. Hal ini kemudian menjadi bibit-bibit radikalisme yang harus diwaspadai sebagai suatu ancaman serius kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun