Mohon tunggu...
Abdu Alifah
Abdu Alifah Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan

Seorang manusia biasa yang secara kebetulan dianugerahi hobi membaca!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kekecewaan Saya Terhadap Yusunari Kawabata dan Terjemahan yang Menyebalkan!

14 September 2019   16:57 Diperbarui: 14 September 2019   17:55 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi


Bagaimanapun, saya sangsi untuk mengatakan bahwa tulisan Yusunari Kawabata, seorang penulis istimewa kebangsaan Jepang yang pernah meraih nobel (1968), merupakan tulisan-tulisan gagal. Tetapi, saya mesti mengatakan bahwa, 'Seribu Burung Bangau' adalah sejenis novel yang sangat membosankan! Tak mampu sedikit saja barangkali Kawabata, lewat buku itu, membuat saya tersentuh, terenyuh, atau tersedu-sedu. Padahal, pada bagian belakang bukunya  tertoreh, 'melalui deskripsi tentang hal-hal yang bersahaja, seperti cangkir teh atau motif hiasan sapu tangan, Kawabata menyiratkan makna memiliki, kehilangan, dan juga pengkhianatan yang acapkali menyertai cinta'.

Bagi saya, ini jadi blurb penipuan, mungkin semacam strategi marketing penerbit biar laku dipasaran. Sebab, duh Gusti, saya yang sedang patah hati nan ambyar ini bahkan tidak merasakan apapun saat membacanya selain gambaran asbtaraksi yang kabur. Maka di sinilah kekecewaan saya sungguh tak terbendung lagi, huehue.

Ya, jujur saja, memang betul alasan saya membeli buku ini, selain karena sedang patah hati dan galau-boleh dong sedikit curhat-juga karena blurb-nya sangat menarik hati saya yang sedang ambyar. Saya ingin memperpanjang periode patah hati saya, dan bergalau-ria lebih lama lagi bersama buku ini. Sebab bagi saya, menyembuhkan sesuatu yang terluka bukan dengan sesuatu yang enak, tetapi dengan sesuatu yang juga menyakitkan. Tak ada bedanya dengan sakit fisiologis biasa, obatnya bukan permenatau rokok, tapi kapsul dan pil yang pahit. Ah, lagi pula belakangan rasanya patah hati dan bergalau-galauan adalah rutinitas dan hobi. Dan hobi biasanya selalu menyenangkan. Masoook!

Maka sebenarnya, saya berekspektasi tinggi sekali pada novel ini, tentu atas dasar patah hati dan kegalauan. Saya pikir, lewat buku itu saya bisa menemukan obat yang cukup manjur untuk menyembuhkan semualuka yang rasanya makin lama kian mengendap tebal di relung hati, yang bahkan sonet-sonet cinta Pablo Neruda, Puisi-puisi cinta Sapardi, kisah-kisah cinta Layla Majnun, atau lagu-lagu sendu Lord Didi Kempot pun tak sanggup lagi mengobatinya. Dan, kali ini, lagi-lagi saya gagal menembukan obat itu pada 'Seribu Burung Bangau' karya Yusunari Kawabata. Sepertinya Kawabata tidak bisa memahami saya, hati saya, atau patah hati saya. Ia tak cocok untuk jadi teman curhat yang melankolik, atau barangkali, ia memang bukan cah ambyar, bukan sadboys!

Saya tidak begitu mengenal Yusunari Kawabata, baik dari segi kehidupan personal maupun karya-karya sastranya. Saya hanya tahu ia adalah seorang penulis prosa dan peraih nobel yang karya-karyanya memang banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa, dan kemudian mati bunuh diri tiga tahun setelahnya tanpa diketahui motifnya apa. Satu-satunya karya Kawabata yang saya baca adalah 'Seribu Burung Bangau' (1949) ini, dan satu lagi buku Kawabata yang saya miliki namun belum sempat saya baca adalah 'Beauty and Sadness' (1964). Namun, terlepas daripada semua itu, saya juga sebanrnya tidak begitu mengenal sastra-satra Jepang terkecuali dari Manga (dan mungkin Anime?). Beberapa penulis prosa lain berkebangsaan Jepang yang saya kenal dan baca hanya Haruki Murkami (Norwegian Wood (1987) dan 1Q84 (2009)) serta Yukio Misima (The Tample Of The Golden Pavilion (1956)).

Ya, sekalipun saya pikir juga sebenarnya sangat sembarang memberikan penilaian macam begini sementara saya masih dalam tahap proses memahami Kawabata. Tetapi, bagaimanapun kan kita kenal bunyi pepatah kuno, kesan pertama itu penting dan menentukan. Dan, setiap orang punya kesan pertama yang beragam. Sayangnya, kesan pertama saya dengan Kawabata lewat 'Seribu Burung Bangau' ini tidak begitu bagus. Sayang sekali.

'Seribu Burung Bangau'merupakan novel yang menceritakan problematikan cinta yang rumit dan gelap dari seorang lelaki bernama Kikuji. Suatu hari, Kikuji, kira-kira berumur 27 tahun (tidak begitu jelas diceritakan berapa umurnya), mendapatkan surat dari Chicako, seorang wanita tua yang merupakan mantan gundik ayahnya yang sudah lama meninggal, untuk menghadiri sebuah upacara minum teh yang sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam keluarganya. Kikuji sebenarnya tidak begitu menykai Chicako karena ia menganggap bahwa wanita itu seperti nenek sihir yang licik dan selalu membawa masalah dalam hidupnya. Dan ternyata, dalam proses upacara itu, Chicako sengaja mempertemukan Kikuji dengan seorang perempuan cantik (Yukiko-gadis Inamura) dan berencana menjodohkan mereka. Kikuji sebenarnya terkagum-kagum dengan wanita itu, terutama karena ia mengenakan saputangan bermotif seribu burung bangau.

Namun dalam proses upacara minum teh itu, seorang wanita tua bernama Nyonya Ota juga hadir menyusul di sana bersama Fumiko, anak perempuannya. Di sinilah Kawabata mulai membangun konflik. Nyonya Ota, yang merupakan gundik lain dari Ayah Kikuji, ternyata selama ini memiliki hubungan asmara gelap dengan Kikuji. Konflik terjadi antara nyonya Ota yang tidak mau melepaskan Kikuji dengan Chicako yang ingin menikahkan Kijuji dengan Yukiko. Konflik ini terus berlanjut setelah upacara minum teh usai, dan bahkan semakin menjadi kompleks setelah Nyonya Ota bunuh diri yang akhirnya terwarisi sampai padaanak perempuannya, Fumiko.

Yang saya suka daripada novelini, adalah tema yang diangkat sangat menarik, yakni kisah cinta gelap, kotor, dendam, penuh intrik dan rahasia yang problematis dengan setting latar kejadian dan tempat yang terkenal cukup suci dan sakral dalam tradisi Jepang, yakni upacara minum teh yang dilakukan untuk menghormati kematian ayah Kikuji di sebuah kuil peribadatan. Ini menjadi menarik karena ternyata terdapat kontras yang begitu jelas antara dua hal yang seharunya bertentangan. Selain itu, tokoh-tokohnya juga sangat unik, misalnya, Chicako yang licik dan mempunyai andeng-andeng (tompel) yang sangat besar tepat di buah dadanya, Nyonya Ota yang tua namun cinta mati kepada Kikuji yang jauh lebih muda, Kikuji yang tidak jelas sebenarnya mencintai siapa, atau Fumiko yang menyimpan banyak rahasia.

Memang dari segi plot cerita dan penokokohan, saya mesti mengakui bahwa apa yang ditulis Kawabata dalam 'Seribu Burung Bangau' sangatlah unik dan menarik. Barangkali, inilah satu-satunya alasan yang membuat saya mampu bertahan untuk menghabiskan buku ini meskipun secara penulisan, atau mungkin lebih tepatnya penerjemahan, novel ini amat sangat membosankan dan kaku. Ceritanya membikin kita penasaran, misalnya, siapa yang pada akhirnya akan dinikahi oleh Kikuji selalu menuntut saya untuk terus membacanya. Tapi, entah kenapa kisah yang disajikan terasa begitu hambar, tidak terasa. Kosong!

Saya, misalnya, sampai detik ini pun tidak mengerti kenapa Kikuji begitu membenci ayahnya hanya karena alasan pernah mendengar ayahnya membicarakan andeng-andeng Chicako bersama ibunya (kandung). Memang, apa yang salah dengan itu? Atau, saya juga merasa aneh kenapa Nyonya Ota begitu mencintai Kikuji, padahal di saat yang sama kehidupannya dulu dengan ayah Kikuji sangat membahagiakan? Bukankah ini plot hole? Atau, saya juga tidak bisa begitu mengerti kenapa Kikuji bisa terkagum-kagum pada Yukiko, dan menjadi hiperbolik dengan cuman sarung tangan bermotif seribu burung bangau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun