Mohon tunggu...
Abdullah Umar
Abdullah Umar Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Hukum dan Politik

Mahasiswa Jurusan Hukum di Cairo University, Mesir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Segala Hal yang Membuat Ibu Kota Harus Pindah

27 Agustus 2019   18:29 Diperbarui: 27 Agustus 2019   18:48 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
peta titik gempa di Indonesia. sumber : BMKG

Bukti-Bukti Indonesia yang Tak Akan Maju Jika Masih Beribukota di Jakarta

Tulisan ini saya buat untuk seluruh rakyat Indonesia yang masih ragu atau bahkan menolak keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. 

Seperti yang kita tahu, Senin (26/8/2019) Presiden Jokowi mengumumkan bahwa ibu kota Indonesia akan berpindah ke Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar). Proses pemindahan ditargetkan dimulai paling lambat awal 2024 (infrastruktur inti pemerintahan).

Sampai saat ini jagat media mainstream maupun netizen di Indonesia masih ada saja yang mengatakan pemindahan ibu kota tidak perlu. Benarkah? Bagi kami pelajar di negeri orang yang setiap hari mengikuti perkembangan Jakarta, mendengar apa kata dunia tentang Indonesia dan yang saat mudik harus singgah di Jakarta mendadak bahagia mendengar ibu kota akan dipindah. Mengapa?

1. Tidak Ada SDM Unggul yang Tidak Sehat

Apalah guna hidup bergelimang harta, jika hidup dalam keadaan sakit, makan tak enak rasanya, bernafas sesak rasanya. Apalah arti hidup dengan label penduduk ibu kota jika tinggal di kawasan kumuh yang bahkan untuk melihat sinar matahari saja sangat sulit. Sebagai simbol negara Jakarta sudah sangat padat dan tidak sehat.

Melalui  indeks AirVisual, udara di Jakarta setiap harinya seolah menjadi tokoh yang tak terkalahkan dalam hal udara terburuk di dunia. Secara kasat mata saja, ketika pagi hari saat seharusnya matahari bersinar cerah, di Jakarta terlihat seolah mendung, padahal yang terjadi langit Jakarta tertutup kumpulan polusi. Begitu pun di malam hari, kapan terakhir warga Jakarta bisa memandang bintang dengan jelas???

Minggu Pagi Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia

2. Kanker dan Penyakit yang Mengintai

Dampak udara buruk tidak main-main, mulai dari ISPA, hingga kanker paru-paru yang dampaknya mungkin tidak dirasakan seminggu dua minggu ke depan, melainkan puluhan tahun ke depan. 

Apakah kita bisa menghindari udara buruk itu? Pasti anda sudah tahu, tanpa udara manusia tidak bisa hidup, jadi kotor tidak kotor, masyarakat tidak bisa memilih, harus tetap dihirup. Apakah kita mau, mewariskan anak cucu kita kehidupan yang seperti itu? Mustahil berbicara Indonesia maju, jika untuk hidup sehat saja tidak bisa.

Jakarta juga menjadi Kota dengan tingkat pengidap HIV terbesar di Indonesia. Penyakit horror yang belum ditemukan obatnya hingga kini, sekaligus penyakit yang paling mendapatkan sanksi sosial masyarakat Indonesia. Itu adalah potret rusaknya pergaulan, relasi sosial, dan gaya hidup kebanyakan pemuda di Jakarta. Masih ngotot bilang SDM Unggul dengan keadaan seperti ini?

Data Kemenkes, Jakarta Kota Penderita HIV Terbanyak di Indonesia

3. Kepadatan yang Dekat Dengan Kekumuhan.  

Salah satu biang keladi tidak sehatnya ibu kota Jakarta adalah penduduk yang terlampau padat. Oxford Economics bahkan memprediksi bahwa Jakarta pada tahun 2035 akan menjadi kota terpadat di dunia dengan jumlah penduduk 38 juta jiwa. Jumlah yang akan mengalahkan Tokyo, Shanghai, bahkan Mumbai.

Jakarta Diprediksi Jadi Kota Paling Padat Penduduk pada 2035

Jika tidak ada kebijakan berani dari pemimpin negara ini atau usaha antisipasi yang dilakukan hanyalah lip service pejabat daerah di depan media, keadaan ini akan menjadi bom waktu. Maka, kebijakan memindahkan ibu kota (pusat pemerintahan) ke daerah PPU dan Kukar yang total penduduknya kurang dari 1 juta orang dan luas daerahnya lima kali lipat dari DKI adalah keputusan brilian.

4. Jakarta Tidak Sehat Sejak Ratusan Tahun Lalu

Ibu Kota yang harus dipindah karena alasan kesehatan yang buruk bahkan sudah diwacanakan bukan saja di era Republik, melainkan di era Kolonial Belanda. Wacana kemudian berkembang mulai dari Bung Karno, Soeharto, hingga SBY. Alasannya? Jakarta terlalu padat, dan tidak sehat. Namun, baru di era Jokowi inilah, pemerintah serius mengeksekusi mimpi dan gagasan para pemimpin bangsa ini sejak dulu.

Rencana Ibu Kota Pindah ke Surabaya

5. Jakarta, Ibu Kota yang Rawan Bencana

Selain 50 persen dari Provinsi Jakarta adalah wilayah rawan banjir, Jakarta juga menyimpan potensi bencana dahsyat, yaitu gempa dan tsunami. LIPI dan BMKG dengan studinya bahkan mengatakan, ancaman gempa megathrust di daerah Jakarta bermagnitudo 9,2-9,6 SR adalah ancaman yang nyata, berdasarkan siklus sejarah. 

Catatan sejarah juga menjelaskan bagaimana Jakarta ikut terdampak saat gempa dan tsunami besar menerjang Anyer di abad ke-18. Kita tentu ingat, gempa 9,1 SR yang mengguncang Aceh, kita lihat bagaimana kota itu lumpuh seketika. Saat ini bahkan di Jakarta bangunan yang modern didesain untuk kuat menghadapi gempa paling besar berkekuatan 8 SR.

Bayangkan, jika Jakarta dilanda bencana tak terduga tersebut tanpa persiapan yang matang, negara ini bisa dikatakan lumpuh. Ingat, Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis memegang porsi lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Maka, langkah antisipasi perlu diambil, dan pemindahan ibu kota adalah hal yang mendesak dilakukan. Ini bukanlah langkah lari dari masalah, bukan sama sekali.

Ingat, Pulau Kalimantan adalah satu-satunya Pulau di Indonesia yang menurut BMKG paling aman dari ancaman gempa bumi maupun tsunami.

Penelitian: Jakarta Berpotensi Diguncang Gempa Magnitudo 9,6

6. Kemacetan Jakarta Yang Buat Stress dan Bangkrut

Pada 2017, Bappenas mencatat, kemacetan di Jabodetabek mengakibatkan kerugian total sebesar Rp 100 triliun, jumlah yang jika digunakan untuk membangun sekolah atau puskesmas, tentu akan bermanfaat bagi umat manusia.

Riset Washington Post dan Jurnal Agrresive Behavior mengungkap, kemacetan parah membuat manusia Jakarta cenderung beringas, gampang marah, gampang cemas, dan berdampak pada produktivitas di sekolah maupun kantor. Kondisi stress tersebut yang mengantarkan sebagian besar rakyat ibu kota kepada vonis, penyakit jantung dan stroke. Sebagai bangsa, Indonesia tidak akan bisa maju jika tidak bisa keluar dari persoalan kesehatan dan ekonomi!

Efek Kemacetan bagi Tubuh dan Mentalmu

7. Biaya Pemindahan Ibu Kota Lebih Berfaedah dibanding Biaya "Birokrasi" DKI

Salah satu yang disorot netizen dan pihak yang ragu bahkan tidak sepakat dengan pemindahan ibu kota adalah biaya Rp 466 triliun. Biaya yang sebenarnya mereka tidak diminta patungan juga, bahkan melalui skema APBN hanya 19 persen, sisanya 54,6 persen skema kerja sama pemerintah dan badan suaha, dan 26,2% adalah swasta. Bandingkan, dengan biaya yang diminta Anies Baswedan Gubernur DKI kepada pemerintah pusat untuk membenahi ibu kota yang mencapai Rp 571 triliun.

Dengan pengalaman kemampuan DKI kini menggunakan anggaran, seperti menghabiskan Rp 500 juta lebih untuk membangun bambu di Bundaran HI (yang umurnya tak sampai satu tahun), membangun tumpukan batu karang (yang dilindungi) dengan Rp 150 juta juga di  bundaran HI. Apakah anda yakin Jakarta akan terbebas dari semua masalah yang ada?

Terkuak, 3 Fakta TGUPP Anies - Sandi Langgar Aturan dan Boros Anggaran  

8. Tidak Pindah Ibukota, Memperkaya Pejabat DKI?

Apalagi kalau kita melihat anggaran rakyat DKI sebesar Rp 20 miliar (setara membangun 10 SMP/SMA modern) hanya diperuntukan untuk menggaji anggota TGUPP (tim yang tak pernah ada di era gubernur sebelumnya) seperti Marco dan Bambang Wijajanto yang sudah dua tahun tak terdengar apa hasil kerjanya. Anggaran Rp 571 triliun malah bisa menimbulkan imajinasi liar, apakah itu nanti tidak malah dijadikan sumber logistik Anies untuk maju di Pilpres 2019?

Jadi, anda pilih ingin bangun peradaban baru yang lebih masuk akal membuat Indonesia maju, ataukah hanya ingin mendengar kata kata kiasan pembenahan DKI Jakarta yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan segelintir pihak. Rakyat Jakarta makin miskin, pejabatnya makin kaya. Itu kah yang diinginkan?

Anggaran TGUPP Diusulkan Naik Jadi Rp 20 Miliar

9. Lahan di Ibu Kota Baru Milik Negara, Tidak Usah Pusing

Setelah diputuskan ibu kota baru pindah ke Kaltim, seketika viral dan banyak netizen yang berkomentar perihal lahan yang digunakan. Mereka memviralkan banyak hoax, seperti tanah yang digunakan sudah dikuasai 9 naga, konglomerat, dll.

Isu yang hanya dari desas-desus, tanpa bukti yang jelas. Padahal, pemerintah menegaskan 180 ribu hektar lahan yang akan digunakan untuk membangun ibu kota baru adalah lahan milik negara berstatus HGU (Hak Guna Usaha). Lahan yang sesuai undang-undang tidak bisa dimiliki oleh orang per orang, kalau milik itu namanya SHM (Sertifikat Hak Milik).

Banyak Spekulasi Sofyan Pastikan Tanah Ibu Kota Milik Negara

Cukup mengherankan juga para netizen yang banyak mempersoalkan perihal harga tanah, status tanah, dan menjadikan alasan menolak pemindahan ibu kota. Padahal, kebanyakan yang bersuara seperti itu bahkan tidak memiliki tanah di Jakarta, kebanyakan hanya ngontrak. Mereka lebih memilih bertahan di ibu kota yang harga tanahnya luar biasa mahal, dibanding pindah ke ibu kota baru yang harga tanahnya akan lebih murah, dan lebih sehat lingkungannya. Ini yang dinamakan perlunya revolusi mental.

Benarkah Harga Tanah Bundaran HI Paling Mahal di Indonesia?  

10. DPR Pasti Setuju

Terakhir yang banyak menjadi perdebatan adalah perihal landasan hukum. Sebagai mahasiswa hukum, saya paham hukum bahwa produk hukum adalah buah dari proses politik di DPR. DPR adalah sumbernya konflik kepentingan. Banyak UU yang mandeg bertahun-tahun ketika para anggota DPR enggan memproses RUU itu karena kepentingannya pribadinya tidak terwakili.

Bayangkan, jika proses penentuan ibu kota baru sejak awal didiskusikan dengan DPR, pasti Tarik menarik kepentingan para anggota DPR tentang letak di mana lokasi baru, dll akan berjalan lama. Bahkan sebelum diputuskan, para anggota DPR bisa saja sudah terlebih dahulu mengkapling tanah di daerah yang akan ditunjuk menjadi ibu kota baru. 

Rakyat kembali akan gigit jari, sementara elit politik yang menikmati. Karena itu lah, wajar melihat banyak anggota DPR kini marah karena mereka tidak memiliki peluang untuk "bermain" lagi dalam wacana pemindahan ibu kota.

Secara legal formal, Presiden Jokowi (eksekutif) telah mengajukan surat permohonan kepada DPR (legislative) untuk membahas setidaknya 9 UU untuk ibu kota baru. Melihat jumlah kursi di DPR dikuasai partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi, dan antusiasme rakyat, maka DPR tentu tidak akan berlama-lama bahkan menghambat proses pemindahan ibu kota ini.

Jadi, selamat datang peradaban baru, ibu kota baru yang akan membawa Indonesia pada era kemajuan dan kesejahteraan. Kalau Amerika saja bisa memindahkan Ibu Kota dari New York ke Washington, bahkan di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib saja bisa memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah, kenapa Indonesia tidak bisa???

Pemindahan ibu kota justru menandakan keberhasilan Jokowi dalam memimpin. Ia berhasil merealisasikan semua gagasan dan wacana yang tidak bisa dituntaskan pemimpin Indonesia terdahulu. 

Jokowi juga berhasil dengan bijak menuntun rakyat ke Indonesia yang maju. Indonesia yang terbebas dari masalah kesehatan, keadilan ekonomi, dan pendidikan. Jakarta seperti yang dikatakan Jokowi, tidak akan ditinggalkan, Jakarta akan dijadikan pusat bisnis dan jasa, layaknya New York di Amerika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun