Mohon tunggu...
Abdullah Umar
Abdullah Umar Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Hukum dan Politik

Mahasiswa Jurusan Hukum di Cairo University, Mesir

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mahar Sandi, Wajah Demokrasi, dan Akar Korupsi

30 Agustus 2018   16:19 Diperbarui: 30 Agustus 2018   16:35 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : tribunews.aceh


KPK Layak Turun Tangan

Hari ini, Kamis (30/8/2018) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) direncanakan akan mengumumkan status dugaan kasus pemberian mahar politik yang dilakukan Sandiaga Uno, kepada PKS dan PAN masing-masing Rp 500 miliar agar dirinya dapat diusung sebagai pendamping Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Pengumuman akan dilakukan Bawaslu setelah bagian Tindak Lanjut Pelanggaran (TLP) selesai melakukan penyelidikan. 

Kasus mahar Sandi yang kemudian menjadi populer di masyarakat dengan bahasa kardus awalnya dicetuskan oleh Andi Arief, Wasekjen Partai Demokrat yang mengaku mengetahui praktik tersebut. Bahkan Andi Arief siap diproses hukum atas pernyataannya karena memiliki bukti yang kuat. 

Saat itu, PKS dan PAN lebih memilih mahar Sandi dibanding memilih AHY sebagai cawapres Prabowo. Sandiaga pun sempat mengaku uang yang dimaksud untuk kampanye, namun belakangan ia membantah memberikan mahar tersebut. Pemberian mahar yang termasuk dalam kategori politik uang dilarang dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Tentang politik uang, Buya Syafii Ma'arif pernah mengutip salah satu peribahasa Arab, "Mahma tubaththin tuzhirhu al-ayyam" (Apa pun yang kau sembunyikan, sejarah pasti membongkarnya). Saat mengatakan itu Buya tengah mengomentari tentang praktik demokrasi di Indonesia yang masih diwarnai politik uang. Hal itu tertulis dalam sebuah buku berjudul 'Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Buya Syafii Maarif'.

Menurutnya, politik uang terjadi saat untuk menjadi kontestan kepala pemerintahan sang calon harus membayar uang kepada partai pengusung atau yang akrab di telinga kita disebut sebagai mahar. Akibatnya, yang terpilih nantinya bukan calon yang punya kapabilitas atau yang memperjuangkan aspirasi rakyat seperti yang digariskan etika demokrasi, melainkan yang terpilih adalah politisi yang sudah "berinvestasi" memberikan mahar. 

Selanjutnya si calon akan berusaha mengembalikan uang "investasinya" yang saat berkuasa sering tidak cukup bila hanya mengandalkan sumber yang sah misalnya gaji. Jadi, korupsi akan dilakukan untuk menutup kekurangannya, praktik korupsi pun akan terus mewarnai demokrasi di Indonesia. Masih mau percaya para politisi seperti itu yang ngomong soal kepentingan rakyat? Atau berpihak terhadap ekonomi emak-emak?

Praktik mahar terbukti menjadi akar korupsi di Indonesia. Sejak Januari -- Juli 2018 saja, 19 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Dari jumlah itu, 15 di antaranya berawal dari OTT KPK. Bahkan, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak 2010-2017 terdapat 215 kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi. 

Kebanyakan kasus itu terkait mahar dalam rangka mempersiapkan diri untuk maju dalam pilkada selanjutnya. Itu praktik di daerah. Terakhir, di bulan Januari 2018 saat batas pendaftaran calon kepala daerah di Pilkada serentak 2018, kasus Mahar kembali heboh. Saat itu, La Nyalla Matalitti mengaku dimintai Rp 40 miliar oleh Prabowo Ketum Partai Gerindra jika ingin dicalonkan sebagai cagub di Jatim. La Nyalla pun mengaku sudah setor Rp 5,9 miliar. 

Namun, hingga kini Bawaslu bak macan ompong, kasus itu lantas menguap hingga kini. Jangan heran, kalau Bawaslu tidak akan berbuat banyak dalam kasus mahar Sandi ini. 

KPK melalui jubirnya Febridiansyah bahkan sempat menyatakan, bahwa proses pencalonan kepala daerah harus bersih dari praktik politik uang. Hal itu agar meminimalisir praktik korupsi saat si calon terpilih. Jelas, KPK mengamini bahwa mahar politik adalah akar korupsi yang dilakukan para pejabat negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun